Label

Minggu, 19 Februari 2012

PENERAPAN DHAMMA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI :

PENERAPAN DHAMMA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI :

Banyak hal yang patut kita terapkan dari ajaran Buddha di dalam kehidupan kita sehari-hari, antara lain: kesabaran, cinta kasih, belas kasihan, ketekunan, kesederhanaan, mudah puas, rendah hati, murah hati, berperilaku baik, dst. Buddha mengatakan, “Kesabaran adalah berkah tertinggi” [SN 2.4]. Dan cinta kasih dan belas kasihan merupakan fondasi ajaran Buddha (Baca Bab 1A tentang sifat belas kasihan Buddha yang patut dijadikan teladan). Kita juga patut menjadikan usaha dan tekad petapa Gotama sebagai teladan. Dan juga patut meneladani dirinya yang hidup sederhana dan mudah puas. Jalanilah hidup kita dengan rendah hati karena kelak, segalanya akan terpisah dari kita. Sifat murah hati dan berperilaku baik akan dibahas secara lebih mendetail di bawah. Selanjutnya ajaran “tanpa diri/roh/aku”yang sulit dipahami tersebut akan dibahas secara bertahap dengan tujuan agar para umat Buddha dapat memahami hidup ini selayaknya seorang pengikut Buddha.

A. Dâna


Dikatakan bila seseorang membilas sisa makanannya di kolam air (danau) dan berpikir, "biarlah ikan-ikan ini memakan sisa makanan ini," maka ia telah termasuk berdana [AN 3.57].


Ajaran Buddha mengajarkan kita berdana. Buddha tidak pernah menyuruh kita untuk berdana hanya untuk kepentingan Buddha, Dhamma, dan Saõgha saja. Yang dikatakan Buddha adalah dana yang diberikan kepada orang yang berbudi luhur akan memberikan hasil yang lebih bagus [AN 3.57, MN 142]. Dan dana yang diberikan untuk kalangan banyak akan lebih bagus kualitasnya [MN 142]. Untuk itu, pemberian dana kepada Saõgha seharusnya tidak ditujukan hanya kepada bhikkhu-bhikkhu tertentu atau vihâra-vihâra tertentu, akan tetapi seharusnya ditujukan kepada seluruh anggota Saõgha yang mencakup seluruh bhikkhu dan bhikkhuóî di seluruh penjuru dunia. Dana yang diberikan kepada Saõgha sedemikian rupa malahan melampaui dana yang diberikan kepada Buddha sekalipun [MN 142].


Tetapi faktor pikiran dalam berdana itu merupakan faktor terpenting (Baca Bab 1B). Mereka yang berdana kemudian menyesal berat atas dana yang diberikan kelak akan memudarkan hasil yang akan diperolehnya. Selalu ingatlah bahwa dana itu adalah pendukung pikiran [AN 7.49]. Ia bersifat membagi apa yang kita miliki. Ia menjadikan pikiran ini berbahagia atas dana yang diberikan, dan kebahagiaan tersebut akan membawa kepada ketenangan batin yang lebih tinggi [AN 11.1]. Maka dari itu, dikatakanlah "dana adalah pendukung pikiran." Inilah motivasi berdana yang termulia yang dinyatakan oleh Buddha [AN 7.49].




B. Sîla


Buddha mengajari kita untuk melaksanakan sîla (berperilaku baik) disertai pengertian yang sesuai dengan Dhamma. Dalam hal ini Buddha membedakan sîla menjadi dua jenis, yakni sîla yang berhubungan dengan ajaran Dhamma yang lebih tinggi & sîla yang tidak berhubungan dengan ajaran Dhamma yang lebih tinggi [MN 117]. Ketika seseorang melaksanakan sîla sesuai dengan ajaran Dhamma yang lebih tinggi, maka ia akan meraih manfaat yang jauh lebih tinggi pula. Dan bila ia melaksanakannya tanpa seiring dengan ajaran Dhamma yang lebih tinggi tersebut, maka hasil yang ia peroleh tidak akan sebagus itu. Kemudian Buddha menyebutkan bahwa hal yang membedakan sîla ini menjadi dua jenis tersebut adalah pemahaman seseorang terhadap Dhamma. Dengan kata lain, kita akan meraih manfaat yang lebih besar apabila pelaksanaan sîla kita diiringi dengan pemahaman yang baik terhadap Dhamma. Malahan Buddha dengan jelas mengatakan bahwa pengertian/pemahaman Dhamma seharusnya mendahului sîla [MN 117].


Salah satu kisah yang paling bagus untuk kita pelajari yang berhubungan dengan sîla dan kebijaksanaan adalah kisah Isidatta dan Purana [AN 6.44]. Isidatta dan Purana adalah dua bersaudara yang hidup di masa Buddha. Mereka masing-masing berkeluarga (memiliki isteri). Akan tetapi, di akhir kehidupannya, Purana tidak berhubungan intim lagi dengan isterinya. Sedangkan saudaranya, Isidatta, hidup selayaknya seorang suami dengan isterinya. Suatu saat isteri Purana, Migasala, bertanya kepada Bhikkhu Ânanda mengapa suaminya yang memiliki sîla yang lebih bagus itu (dibanding Isidatta) dinyatakan sama tingkat batinnya (dengan Isidatta) oleh Buddha. Bhikkhu Ânanda tidak dapat menjawab pertanyaan Migasala. Kemudian ia mencari tahu dari Buddha alasan mengapa Buddha menyatakan bahwa mereka adalah sama dalam hal tingkat batin (keduanya dinyatakan sebagai Sakadâgâmi). Buddha mengingatkan Bhikkhu Ânanda (Sotâpanna) agar ia tidak semberono dalam menilai orang lain. Buddha mengatakan, “Siapakah Migasala, yang tidak mengerti Dhamma dan sembarang menilai/membandingkan orang lain ? Hanya Aku, atau murid-murid yang sebanding diri-Ku lah yang dapat menilai orang lain.” Kemudian Buddha menjelaskan kepada Bhikkhu Ânanda bahwa Isidatta adalah seorang yang bijaksana akan tetapi dalam hal sîla, ia tidak sehebat Purana. Sedangkan Purana adalah seorang yang beretika tinggi, namum dalam hal kebijaksanaan ia tidak sebanding Isidatta. Oleh karena alasan inilah, maka mereka adalah sebanding dalam hal tingkatan batin. Akan tetapi, kita harus menyadari bahwa walaupun Purana kurang hebat dibanding dengan Isidatta dalam hal kebijaksanaan, akan tetapi tentunya kebijaksanaan Purana bukanlah lemah karena ia telah memiliki pemahaman Dhamma yang tinggi (selayaknya seorang Sakadâgâmi).


Dua kisah yang menarik ini menunjukan kepada kita bahwa:


1) Kita seharusnya memiliki pengertian Dhamma yang baik.


2) Sîla yang baik disertai pengertian Dhamma yang lebih mendalam akan memberikan manfaat yang lebih besar.


Mari kita meneliti lima latihan kemoralan yang dianjurkan Buddha [AN 8.26]:


1) Berusaha untuk menghindari pembunuhan ataupun penganiyaan


Seperti yang dikatakan dalam melaksanakan sîla kita seharusnya juga memiliki pengertian yang baik. Dalam hal ini kita seharusnya mengerti bahwa makhluk-makhluk kecil sekalipun, seperti serangga, takut mati. Mereka juga tidak ingin disakiti. Mengerti secara sungguh-sungguh tentang kenyataan ini, maka kita seharusnya tidak melukai mereka ataupun membunuh mereka. Bukankah diri kita sendiri tidak ingin disakiti dan dibunuh? Untuk itulah, kita seharusnya mengembangkan rasa cinta kasih dan belas kasihan kepada semua makhluk. Pikiran untuk membunuh atau menyakiti makhluk lain tidak mungkin dapat muncul lagi di diri seseorang yang telah memiliki cukup pengembangan cinta kasih dan belas kasihan. Buddha mengatakan bahwa sîla seharusnya diiringi dengan pemahaman, daya upaya, dan perenungan yang sesuai dengan Dhamma [MN 117]. Dalam hal ini, upaya untuk tidak melukai dan upaya untuk melenyapkan kebencian dan mengembangkan cinta kasih seharusnya dikembangkan.


2) Berusaha untuk menghindari pencurian atau mengambil barang yang tidak diberikan


Mengambil barang milik orang lain yang tidak diberikan kepada kita itulah yang disebut mencuri. Tetapi tidak semua pencurian itu sama kadarnya. Ada jenis pencurian yang lebih parah dibanding yang lain. Misalnya ketika seseorang merampas milik orang lain selayaknya seorang perampok, maka ia melakukan tindakan yang parah, yang akan menghancurkan nama baiknya, yang juga akan membawa hukuman penjara kepadanya. Kita seharusnya mengerti bahwa semua orang tidak ingin kehilangan harta benda mereka. Kemudian kita seharusnya mengerti bahwa keserakahan adalah sumber penderitaan. Puas dengan apa yang telah kita miliki dan tidak tergila-gila dengan milik orang lain adalah sifat yang seharusnya kita kembangkan. Jadi bila kedua pengertian ini telah banyak dikembangkan di diri ini dengan upaya yang sungguh-sungguh, maka kita akan dengan mudah menghindari pencurian. Dengan demikian, kapan saja kalau kita mau, kita dapat merenungi kembali sîla kita yang tidak ternoda, dan selalu berbahagia oleh karenanya. Inilah manfaat sîla yang setingkat lebih tinggi dari sekedar melaksanakannya begitu saja [AN 11.1].


3) Berusaha untuk menghindari hubungan seks yang melanggar norma


Berhubungan seks dengan mereka yang telah menikah, bertunangan, yang masih diasuh oleh sanak keluarga, yang dilindungi oleh peraturan setempat, yang dilindungi oleh adat setempat, yang tidak diinginkan orang tersebut (pemaksaan) adalah semuanya termasuk tindakan yang tercela [MN 41]. Pengertian yang seharusnya dikembangkan di sini adalah kesadaran yang tinggi tentang bahayanya nafsu yang tidak terkendalikan. Banyak orang-orang sukses yang hancur kariernya dikarenakan mereka tidak mampu mengendalikan nafsu mereka. Hanya satu kesalahan kecil mampu menghancurkan hidup yang bahagia. Ini adalah pengertian yang seharusnya direnungkan dari saat ke saat. Usaha untuk menghindari hubungan seks yang melanggar norma juga seharusnya dikembangkan dengan menghindari kontak/hubungan yang tidak senonoh. Bila kita merasa suatu kebiasaan kita memberikan banyak kesempatan bagi kita untuk berhubungan seks yang melanggar norma, maka hindarilah kebiasaan tersebut.


4) Berusaha untuk menghindari perkataan yang tercela


Menyampaikan sesuatu yang tidak benar adalah termasuk berbohong. Pengecualiannya adalah bila kita sendiri tidak tahu bahwa hal tersebut adalah tidak benar. Misalnya kalau orang-orang mengatakan obat ini ampuh untuk penyakit tertentu dan kita menyampaikan informasi tersebut juga kepada orang lain. Akan tetapi, suatu saat penelitian menunjukan bahwa obat tersebut sebenarnya tidak ampuh sama sekali untuk penyakit tersebut, maka kita tidak termasuk berbohong. Dan berbohong, juga tidak semuanya memiliki kadar yang sama. Misalnya, memfitnah adalah jenis yang lebih jahat. Pengertian yang seharusnya dikembangkan adalah menyadari bahwa diri kita sendiri tidak ingin ditipu, dibohongi. Hal-hal lain yang juga patut dikembangkan adalah rasa kasih sayang dan belas kasihan kepada sesama manusia. Sifat takut dan malu untuk berbohong juga adalah sifat yang patut dikembangkan [SN 1.18]. Sifat malu dan takut adalah dua sifat yang dipuji oleh Buddha karena kedua sifat ini menghindari diri kita dari perbuatan-perbuatan yang merugikan. Perkataan kotor dan kasar yang melukai hati orang lain juga seharusnya dihindari. Adu domba dan gosip-gosip juga seharusnya dihindari.


5) Berusaha untuk menghindari penggunakan minuman dan obat-obatan yang dapat melemahkan kesadaran diri


Minuman dan obat-obatan yang termasuk dalam katagori ini adalah minuman yang mengandung alkohol dan obat-obat terlarang yang mempengaruhi kesadaran diri. Penggunaan obat-obat terlarang tidak diperbolehkan hampir di semua negara. Malahan bila seseorang menggunakannya, maka ia akan berhubungan dengan pihak yang berwenang. Minuman beralkohol juga seharusnya dihindari [SN 2.14]. Pengecualiannya adalah ketika kita sakit dan obat yang diberikan tersebut mengandung kadar alkohol atau unsur kimia yang mempengaruhi kesadaran diri.


Jadi kita telah menjelaskan secara cukup rinci bagaimana sîla seharusnya dilaksanakan, yakni pertama-tama seharusnya didasari dengan pengertian, kemudian pelaksanaan sîla tersebut juga seharusnya diiringi dengan daya upaya dan perenungan yang sesuai dengan Dhamma. Pelaksanaan sîla adalah latihan utama/dasar dalam ajaran Buddha. Kita seharusnya menghindari perbuatan yang dapat mendatangkan keresahan dan penyesalan yang panjang di hidup kita.


C. Pengertian mulia


Pengertian mulia tentang keyakinan


Umat Buddha adalah mereka yang menganggap Buddha sebagai guru pembimbing mereka. Dan ajaran Buddha lah yang menghubungkan Buddha dengan umat-Nya terutama untuk masa sekarang. Dengan kata lain, umat Buddha melihat Buddha melalui ajaran-Nya, bukan dengan bertemu muka dengan-Nya. Setelah mengerti ajaran tersebut, barulah umat Buddha mengatakan, “Wah, siapapun yang mengajarkan ajaran ini, tentulah ia memiliki kebijaksanaan yang luar biasa.” Ini adalah bagaikan seseorang yang telah melihat sinar cahaya dan dengan sendirinya mengetahui secara pasti adanya sumber cahaya (walau ia belum melihat langsung sumber cahaya tersebut). Kepercayaan terhadap Buddha ini bukanlah kepercayaan akan sosok fisik-Nya (apakah ia pangeran, lahir di Nepal, lahir 2500 tahun yang lalu, ras India, dst), akan tetapi mempercayai pencerahan yang diraih-Nya. Ingat, ‘Buddha’ berarti ‘Ia yang tercerahkan (dengan upaya sendiri).’ Dan Buddha pernah mengatakan kepada seorang bhikkhu yang telah lama ingin melihat diri-Nya dan yang sedang menghadapi ajalnya (keinginan terakhir hidupnya adalah melihat Buddha), “Cukuplah, apa yang perlu dilihat dari sosok tubuh yang kotor ini ? Sesungguhnya ia yang melihat Dhamma melihat diri-Ku, dan ia yang melihat diri-Ku melihat Dhamma” [SN 22.87]. Jelaslah melihat Buddha di sini tidak berarti melihat sosok tubuh-Nya, akan tetapi mengerti jelas pencerahan yang dicapai-Nya.


Oleh karena itu, maka pengertian terhadap ajaran Buddha itu adalah yang pokok, yang utama, dan yang terpenting. Dengan mengerti ajaran Buddha melalui pandangan terang, maka keyakinan yang disebutkan di atas akan muncul dengan sendirinya, bagaikan seseorang yang mengetahui secara pasti adanya sumber cahaya setelah terlebih dahulu melihat sinar cahaya tersebut secara langsung. Dalam hal ini, pengertian dan keyakinan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Seseorang tidak dapat mengatakan bahwa ia mengerti tapi tidak yakin. Demikian pula ia tidak dapat mengatakan bahwa ia yakin tapi tidak mengerti.


Pengertian mulia tentang ketidak-puasan yang selalu menyertai segala yang terkondisi


Secara singkat, apapun yang terkondisi akan berubah, hancur, dan lenyap. Maksud dari “terkondisi” di sini adalah keberadaannya tergantung pada keberadaan hal lainnya (tidak tetap). Dengan kata lain, sifatnya dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Misalnya, baju yang indah terkondisi oleh bahan/benangnya. Benang terkondisi oleh kelembaban dan temperatur. Kelembaban dan temperatur juga terkondisi oleh hal-hal lainnya, dan seterusnya.


Dan secara singkat pula, apapun yang terkondisi (tidak tetap) adalah tidak memuaskan. Diri ini yang dikenal sebagai “aku”, “saya”, “milikku”, atau “punyaku” adalah terkondisi [SN 22.59]. Dan bagaimanakah sesungguhnya diri ini terkondisi ?


Pengertian mulia tentang diri ini


Badan ini terkondisi oleh makanan, perawatan, dan usia. Walau dirawat dengan sebaik-baiknya dan diberi makanan yang paling bergizi, badan ini suatu hari tetap akan menjadi mayat via aging. Kalau tidak diberi makanan dan perawatan, badan ini akan menjadi mayat via expressway! Inilah kenyataan tentang badan ini yang selalu terkondisi oleh makanan, perawatan, dan usia.


Kesadaran ini juga terkondisi [MN 38]. Kesadaran yang terbentuk dengan mata dan objek visual dikenal sebagai kesadaran penglihatan. Kesadaran yang terbentuk dengan telinga dan suara dikenal sebagai kesadaran pendengaran. Kesadaran yang terbentuk dengan hidung dan aroma dikenal sebagai kesadaran penciuman. Kesadaran yang terbentuk dengan sistem saraf peraba dan objek yang menyentuh dikenal sebagai kesadaran peraba. Kesadaran yang terbentuk dengan pikiran dan objek mental dikenal sebagai kesadaran mental. Bagaikan api yang membakar lilin dikenal sebagai api lilin, api yang membakar kayu dikenal sebagai api kayu, api yang membakar arang dikenal sebagai api arang, dan seterusnya. Dan keberadaan api tersebut tergantung pada sumber pendukungnya, yakni api lilin tergantung pada lilin (bila lilin habis, api juga ikut habis), api kayu tergantung pada kayu, dan seterusnya. Begitu pula kesadaran tergantung pada sumber pendukungnya. Kesadaran penglihatan tergantung pada mata dan objek visual, kesadaran pendengaran tergantung pada telinga dan suara, dst. Terdapat juga kesadaran penghubung antar satu kehidupan dengan kehidupan lain. Kesadaran ini—seperti layaknya kesadaran di atas—juga tergantung pada sumber pendukungnya. Kesadaran penghubung kehidupan ini akan dijelaskan di bawah.


Pencerapan ini (contact) terkondisi oleh indera, objek indera, dan kesadaran: dengan adanya mata, objek visual, dan kesadaran visual barulah ada proses penglihatan; dengan adanya telinga, suara, dan kesadaran pendengaran barulah ada proses pendengaran; dengan adanya hidung, aroma, dan kesadaran penciuman, barulah ada proses penciuman; dengan adanya organ pengecap, rasa, dan kesadaran pengecap barulah ada proses pengecap; dengan adanya sistem saraf peraba, objek yang menyentuh, dan kesadaran peraba barulah ada proses sentuhan; dengan adanya pikiran, objek mental, dan kesadaran mental barulah ada proses pemikiran. [Kesadaran diperlukan dalam proses pencerapan. Misalnya, kentut yang keras dan bau mungkin tidak dapat didengar ataupun dicium oleh orang yang sedang tidur nyenyak walau telinga dan hidungnya masih dalam kondisi yang sehat. Tetapi karena kesadaran pendengaran dan penciumannya sedang lemah sewaktu tidur, maka ia tidak dapat mendengar maupun menciumnya, kecuali bila memang kentut tersebut super nyaring bunyinya dan super pedas baunya.]


Perasaan ini terkondisi oleh pencerapan (contact): dengan adanya pencerapan barulah ada perasaan yang menyenangkan, perasaan yang tidak menyenangkan, dan perasaan yang netral. Misalnya, setelah mendengar lelucon yang lucu, timbul rasa senang. Rasa senang ini tergantung pada (muncul setelah) adanya contact (mendengar humor tersebut).


Pikiran ini terkondisi oleh objek mental: dengan adanya objek mental yang rumit maka pikiran menjadi rumit; dengan adanya objek mental yang menenangkan maka pikiran menjadi tenang, dst. Inilah alasannya mengapa Buddha menganjurkan para bhikkhu untuk hidup menyendiri jauh dari keramaian dan keributan, jauh dari permasalahan duniawi [MN 03, AN 8.30]. Karena di tempat yang sepi dan sunyi lah pikiran akan cenderung menjadi tenang.


Ringkasnya, segala sesuatu yang terkondisi adalah tidak memuaskan. Dan segala yang tidak memuaskan tidak pantas dianggap sebagai “aku”, “saya”, “milikku” atau “punyaku.”


Pengertian mulia menghentikan segala ketidakpuasan


Apabila seseorang menganggap ini adalah “aku”, “saya”, “milikku” atau “punyaku,” maka ia akan terobsesi olehnya. Dengan obsesi ini, maka munculah keinginan untuk ini dan itu (pokoknya banyak deh keinginannya!). Keinginan “ini dan itu” lah yang akan terus mendorongnya untuk tetap dilahirkan kembali ke alam kehidupan. Setelah dilahirkan, maka suatu hari ia pasti akan sakit, tua, dan mati. Bila dilahirkan di alam yang tinggi (dewa atau brahma), suatu saat ia juga akan jatuh kembali ke alam yang lebih rendah, dan seterusnya. Kesadaran yang menghubungkan kehidupan lampau dengan kehidupan ini dikenal sebagai kesadaran penghubung. Dan sumber penyokong dari kesadaran penghubung ini adalah ketidakpahaman terhadap segala hal yang terkondisi. Tetapi dengan munculnya pengertian mulia tentang ketidakpuasan dari segala hal yang terkondisi ini, maka kegiuran lenyap. Dengan lenyapnya kegiuran, keterikatan lenyap. Dengan lenyapnya keterikatan, keinginan untuk “ini itu” lenyap. Dengan lenyapnya keinginan “ini itu” maka kesadaran penghubung tersebut sudah tidak disokong lagi—padam bagaikan api lilin yang padam setelah habisnya lilin yang dahulu menyokongnya [MN 38].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar