PENERAPAN DHAMMA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI :
PENERAPAN DHAMMA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI :
Banyak hal yang patut kita terapkan dari ajaran Buddha di dalam
kehidupan kita sehari-hari, antara lain: kesabaran, cinta kasih, belas
kasihan, ketekunan, kesederhanaan, mudah puas, rendah hati, murah hati,
berperilaku baik, dst. Buddha mengatakan, “Kesabaran adalah berkah
tertinggi” [SN 2.4]. Dan cinta kasih dan belas kasihan merupakan
fondasi ajaran Buddha (Baca Bab 1A tentang sifat belas kasihan Buddha
yang patut dijadikan teladan). Kita juga patut menjadikan usaha dan
tekad petapa Gotama sebagai teladan. Dan juga patut meneladani dirinya
yang hidup sederhana dan mudah puas. Jalanilah hidup kita dengan rendah
hati karena kelak, segalanya akan terpisah dari kita. Sifat murah hati
dan berperilaku baik akan dibahas secara lebih mendetail di bawah.
Selanjutnya ajaran “tanpa diri/roh/aku”yang sulit dipahami tersebut akan
dibahas secara bertahap dengan tujuan agar para umat Buddha dapat
memahami hidup ini selayaknya seorang pengikut Buddha.
A. Dâna
Dikatakan bila seseorang membilas sisa makanannya di kolam air (danau)
dan berpikir, "biarlah ikan-ikan ini memakan sisa makanan ini," maka ia
telah termasuk berdana [AN 3.57].
Ajaran Buddha mengajarkan
kita berdana. Buddha tidak pernah menyuruh kita untuk berdana hanya
untuk kepentingan Buddha, Dhamma, dan Saõgha saja. Yang dikatakan
Buddha adalah dana yang diberikan kepada orang yang berbudi luhur akan
memberikan hasil yang lebih bagus [AN 3.57, MN 142]. Dan dana yang
diberikan untuk kalangan banyak akan lebih bagus kualitasnya [MN 142].
Untuk itu, pemberian dana kepada Saõgha seharusnya tidak ditujukan hanya
kepada bhikkhu-bhikkhu tertentu atau vihâra-vihâra tertentu, akan
tetapi seharusnya ditujukan kepada seluruh anggota Saõgha yang mencakup
seluruh bhikkhu dan bhikkhuóî di seluruh penjuru dunia. Dana yang
diberikan kepada Saõgha sedemikian rupa malahan melampaui dana yang
diberikan kepada Buddha sekalipun [MN 142].
Tetapi faktor
pikiran dalam berdana itu merupakan faktor terpenting (Baca Bab 1B).
Mereka yang berdana kemudian menyesal berat atas dana yang diberikan
kelak akan memudarkan hasil yang akan diperolehnya. Selalu ingatlah
bahwa dana itu adalah pendukung pikiran [AN 7.49]. Ia bersifat membagi
apa yang kita miliki. Ia menjadikan pikiran ini berbahagia atas dana
yang diberikan, dan kebahagiaan tersebut akan membawa kepada ketenangan
batin yang lebih tinggi [AN 11.1]. Maka dari itu, dikatakanlah "dana
adalah pendukung pikiran." Inilah motivasi berdana yang termulia yang
dinyatakan oleh Buddha [AN 7.49].
B. Sîla
Buddha mengajari kita untuk melaksanakan sîla (berperilaku baik)
disertai pengertian yang sesuai dengan Dhamma. Dalam hal ini Buddha
membedakan sîla menjadi dua jenis, yakni sîla yang berhubungan dengan
ajaran Dhamma yang lebih tinggi & sîla yang tidak berhubungan dengan
ajaran Dhamma yang lebih tinggi [MN 117]. Ketika seseorang
melaksanakan sîla sesuai dengan ajaran Dhamma yang lebih tinggi, maka ia
akan meraih manfaat yang jauh lebih tinggi pula. Dan bila ia
melaksanakannya tanpa seiring dengan ajaran Dhamma yang lebih tinggi
tersebut, maka hasil yang ia peroleh tidak akan sebagus itu. Kemudian
Buddha menyebutkan bahwa hal yang membedakan sîla ini menjadi dua jenis
tersebut adalah pemahaman seseorang terhadap Dhamma. Dengan kata lain,
kita akan meraih manfaat yang lebih besar apabila pelaksanaan sîla kita
diiringi dengan pemahaman yang baik terhadap Dhamma. Malahan Buddha
dengan jelas mengatakan bahwa pengertian/pemahaman Dhamma seharusnya
mendahului sîla [MN 117].
Salah satu kisah yang paling bagus
untuk kita pelajari yang berhubungan dengan sîla dan kebijaksanaan
adalah kisah Isidatta dan Purana [AN 6.44]. Isidatta dan Purana adalah
dua bersaudara yang hidup di masa Buddha. Mereka masing-masing
berkeluarga (memiliki isteri). Akan tetapi, di akhir kehidupannya,
Purana tidak berhubungan intim lagi dengan isterinya. Sedangkan
saudaranya, Isidatta, hidup selayaknya seorang suami dengan isterinya.
Suatu saat isteri Purana, Migasala, bertanya kepada Bhikkhu Ânanda
mengapa suaminya yang memiliki sîla yang lebih bagus itu (dibanding
Isidatta) dinyatakan sama tingkat batinnya (dengan Isidatta) oleh
Buddha. Bhikkhu Ânanda tidak dapat menjawab pertanyaan Migasala.
Kemudian ia mencari tahu dari Buddha alasan mengapa Buddha menyatakan
bahwa mereka adalah sama dalam hal tingkat batin (keduanya dinyatakan
sebagai Sakadâgâmi). Buddha mengingatkan Bhikkhu Ânanda (Sotâpanna) agar
ia tidak semberono dalam menilai orang lain. Buddha mengatakan,
“Siapakah Migasala, yang tidak mengerti Dhamma dan sembarang
menilai/membandingkan orang lain ? Hanya Aku, atau murid-murid yang
sebanding diri-Ku lah yang dapat menilai orang lain.” Kemudian Buddha
menjelaskan kepada Bhikkhu Ânanda bahwa Isidatta adalah seorang yang
bijaksana akan tetapi dalam hal sîla, ia tidak sehebat Purana.
Sedangkan Purana adalah seorang yang beretika tinggi, namum dalam hal
kebijaksanaan ia tidak sebanding Isidatta. Oleh karena alasan inilah,
maka mereka adalah sebanding dalam hal tingkatan batin. Akan tetapi,
kita harus menyadari bahwa walaupun Purana kurang hebat dibanding dengan
Isidatta dalam hal kebijaksanaan, akan tetapi tentunya kebijaksanaan
Purana bukanlah lemah karena ia telah memiliki pemahaman Dhamma yang
tinggi (selayaknya seorang Sakadâgâmi).
Dua kisah yang menarik ini menunjukan kepada kita bahwa:
1) Kita seharusnya memiliki pengertian Dhamma yang baik.
2) Sîla yang baik disertai pengertian Dhamma yang lebih mendalam akan memberikan manfaat yang lebih besar.
Mari kita meneliti lima latihan kemoralan yang dianjurkan Buddha [AN 8.26]:
1) Berusaha untuk menghindari pembunuhan ataupun penganiyaan
Seperti yang dikatakan dalam melaksanakan sîla kita seharusnya juga
memiliki pengertian yang baik. Dalam hal ini kita seharusnya mengerti
bahwa makhluk-makhluk kecil sekalipun, seperti serangga, takut mati.
Mereka juga tidak ingin disakiti. Mengerti secara sungguh-sungguh
tentang kenyataan ini, maka kita seharusnya tidak melukai mereka ataupun
membunuh mereka. Bukankah diri kita sendiri tidak ingin disakiti dan
dibunuh? Untuk itulah, kita seharusnya mengembangkan rasa cinta kasih
dan belas kasihan kepada semua makhluk. Pikiran untuk membunuh atau
menyakiti makhluk lain tidak mungkin dapat muncul lagi di diri seseorang
yang telah memiliki cukup pengembangan cinta kasih dan belas kasihan.
Buddha mengatakan bahwa sîla seharusnya diiringi dengan pemahaman, daya
upaya, dan perenungan yang sesuai dengan Dhamma [MN 117]. Dalam hal
ini, upaya untuk tidak melukai dan upaya untuk melenyapkan kebencian dan
mengembangkan cinta kasih seharusnya dikembangkan.
2) Berusaha untuk menghindari pencurian atau mengambil barang yang tidak diberikan
Mengambil barang milik orang lain yang tidak diberikan kepada kita
itulah yang disebut mencuri. Tetapi tidak semua pencurian itu sama
kadarnya. Ada jenis pencurian yang lebih parah dibanding yang lain.
Misalnya ketika seseorang merampas milik orang lain selayaknya seorang
perampok, maka ia melakukan tindakan yang parah, yang akan menghancurkan
nama baiknya, yang juga akan membawa hukuman penjara kepadanya. Kita
seharusnya mengerti bahwa semua orang tidak ingin kehilangan harta benda
mereka. Kemudian kita seharusnya mengerti bahwa keserakahan adalah
sumber penderitaan. Puas dengan apa yang telah kita miliki dan tidak
tergila-gila dengan milik orang lain adalah sifat yang seharusnya kita
kembangkan. Jadi bila kedua pengertian ini telah banyak dikembangkan di
diri ini dengan upaya yang sungguh-sungguh, maka kita akan dengan mudah
menghindari pencurian. Dengan demikian, kapan saja kalau kita mau,
kita dapat merenungi kembali sîla kita yang tidak ternoda, dan selalu
berbahagia oleh karenanya. Inilah manfaat sîla yang setingkat lebih
tinggi dari sekedar melaksanakannya begitu saja [AN 11.1].
3) Berusaha untuk menghindari hubungan seks yang melanggar norma
Berhubungan seks dengan mereka yang telah menikah, bertunangan, yang
masih diasuh oleh sanak keluarga, yang dilindungi oleh peraturan
setempat, yang dilindungi oleh adat setempat, yang tidak diinginkan
orang tersebut (pemaksaan) adalah semuanya termasuk tindakan yang
tercela [MN 41]. Pengertian yang seharusnya dikembangkan di sini adalah
kesadaran yang tinggi tentang bahayanya nafsu yang tidak terkendalikan.
Banyak orang-orang sukses yang hancur kariernya dikarenakan mereka
tidak mampu mengendalikan nafsu mereka. Hanya satu kesalahan kecil mampu
menghancurkan hidup yang bahagia. Ini adalah pengertian yang seharusnya
direnungkan dari saat ke saat. Usaha untuk menghindari hubungan seks
yang melanggar norma juga seharusnya dikembangkan dengan menghindari
kontak/hubungan yang tidak senonoh. Bila kita merasa suatu kebiasaan
kita memberikan banyak kesempatan bagi kita untuk berhubungan seks yang
melanggar norma, maka hindarilah kebiasaan tersebut.
4) Berusaha untuk menghindari perkataan yang tercela
Menyampaikan sesuatu yang tidak benar adalah termasuk berbohong.
Pengecualiannya adalah bila kita sendiri tidak tahu bahwa hal tersebut
adalah tidak benar. Misalnya kalau orang-orang mengatakan obat ini
ampuh untuk penyakit tertentu dan kita menyampaikan informasi tersebut
juga kepada orang lain. Akan tetapi, suatu saat penelitian menunjukan
bahwa obat tersebut sebenarnya tidak ampuh sama sekali untuk penyakit
tersebut, maka kita tidak termasuk berbohong. Dan berbohong, juga tidak
semuanya memiliki kadar yang sama. Misalnya, memfitnah adalah jenis yang
lebih jahat. Pengertian yang seharusnya dikembangkan adalah menyadari
bahwa diri kita sendiri tidak ingin ditipu, dibohongi. Hal-hal lain
yang juga patut dikembangkan adalah rasa kasih sayang dan belas kasihan
kepada sesama manusia. Sifat takut dan malu untuk berbohong juga adalah
sifat yang patut dikembangkan [SN 1.18]. Sifat malu dan takut adalah
dua sifat yang dipuji oleh Buddha karena kedua sifat ini menghindari
diri kita dari perbuatan-perbuatan yang merugikan. Perkataan kotor dan
kasar yang melukai hati orang lain juga seharusnya dihindari. Adu domba
dan gosip-gosip juga seharusnya dihindari.
5) Berusaha untuk menghindari penggunakan minuman dan obat-obatan yang dapat melemahkan kesadaran diri
Minuman dan obat-obatan yang termasuk dalam katagori ini adalah minuman
yang mengandung alkohol dan obat-obat terlarang yang mempengaruhi
kesadaran diri. Penggunaan obat-obat terlarang tidak diperbolehkan
hampir di semua negara. Malahan bila seseorang menggunakannya, maka ia
akan berhubungan dengan pihak yang berwenang. Minuman beralkohol juga
seharusnya dihindari [SN 2.14]. Pengecualiannya adalah ketika kita sakit
dan obat yang diberikan tersebut mengandung kadar alkohol atau unsur
kimia yang mempengaruhi kesadaran diri.
Jadi kita telah
menjelaskan secara cukup rinci bagaimana sîla seharusnya dilaksanakan,
yakni pertama-tama seharusnya didasari dengan pengertian, kemudian
pelaksanaan sîla tersebut juga seharusnya diiringi dengan daya upaya dan
perenungan yang sesuai dengan Dhamma. Pelaksanaan sîla adalah latihan
utama/dasar dalam ajaran Buddha. Kita seharusnya menghindari perbuatan
yang dapat mendatangkan keresahan dan penyesalan yang panjang di hidup
kita.
C. Pengertian mulia
Pengertian mulia tentang keyakinan
Umat Buddha adalah mereka yang menganggap Buddha sebagai guru
pembimbing mereka. Dan ajaran Buddha lah yang menghubungkan Buddha
dengan umat-Nya terutama untuk masa sekarang. Dengan kata lain, umat
Buddha melihat Buddha melalui ajaran-Nya, bukan dengan bertemu muka
dengan-Nya. Setelah mengerti ajaran tersebut, barulah umat Buddha
mengatakan, “Wah, siapapun yang mengajarkan ajaran ini, tentulah ia
memiliki kebijaksanaan yang luar biasa.” Ini adalah bagaikan seseorang
yang telah melihat sinar cahaya dan dengan sendirinya mengetahui secara
pasti adanya sumber cahaya (walau ia belum melihat langsung sumber
cahaya tersebut). Kepercayaan terhadap Buddha ini bukanlah kepercayaan
akan sosok fisik-Nya (apakah ia pangeran, lahir di Nepal, lahir 2500
tahun yang lalu, ras India, dst), akan tetapi mempercayai pencerahan
yang diraih-Nya. Ingat, ‘Buddha’ berarti ‘Ia yang tercerahkan (dengan
upaya sendiri).’ Dan Buddha pernah mengatakan kepada seorang bhikkhu
yang telah lama ingin melihat diri-Nya dan yang sedang menghadapi
ajalnya (keinginan terakhir hidupnya adalah melihat Buddha), “Cukuplah,
apa yang perlu dilihat dari sosok tubuh yang kotor ini ? Sesungguhnya
ia yang melihat Dhamma melihat diri-Ku, dan ia yang melihat diri-Ku
melihat Dhamma” [SN 22.87]. Jelaslah melihat Buddha di sini tidak
berarti melihat sosok tubuh-Nya, akan tetapi mengerti jelas pencerahan
yang dicapai-Nya.
Oleh karena itu, maka pengertian terhadap
ajaran Buddha itu adalah yang pokok, yang utama, dan yang terpenting.
Dengan mengerti ajaran Buddha melalui pandangan terang, maka keyakinan
yang disebutkan di atas akan muncul dengan sendirinya, bagaikan
seseorang yang mengetahui secara pasti adanya sumber cahaya setelah
terlebih dahulu melihat sinar cahaya tersebut secara langsung. Dalam hal
ini, pengertian dan keyakinan adalah dua hal yang tidak dapat
dipisahkan. Seseorang tidak dapat mengatakan bahwa ia mengerti tapi
tidak yakin. Demikian pula ia tidak dapat mengatakan bahwa ia yakin tapi
tidak mengerti.
Pengertian mulia tentang ketidak-puasan yang selalu menyertai segala yang terkondisi
Secara singkat, apapun yang terkondisi akan berubah, hancur, dan
lenyap. Maksud dari “terkondisi” di sini adalah keberadaannya
tergantung pada keberadaan hal lainnya (tidak tetap). Dengan kata lain,
sifatnya dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Misalnya, baju yang
indah terkondisi oleh bahan/benangnya. Benang terkondisi oleh
kelembaban dan temperatur. Kelembaban dan temperatur juga terkondisi
oleh hal-hal lainnya, dan seterusnya.
Dan secara singkat pula,
apapun yang terkondisi (tidak tetap) adalah tidak memuaskan. Diri ini
yang dikenal sebagai “aku”, “saya”, “milikku”, atau “punyaku” adalah
terkondisi [SN 22.59]. Dan bagaimanakah sesungguhnya diri ini terkondisi
?
Pengertian mulia tentang diri ini
Badan ini
terkondisi oleh makanan, perawatan, dan usia. Walau dirawat dengan
sebaik-baiknya dan diberi makanan yang paling bergizi, badan ini suatu
hari tetap akan menjadi mayat via aging. Kalau tidak diberi makanan dan
perawatan, badan ini akan menjadi mayat via expressway! Inilah
kenyataan tentang badan ini yang selalu terkondisi oleh makanan,
perawatan, dan usia.
Kesadaran ini juga terkondisi [MN 38].
Kesadaran yang terbentuk dengan mata dan objek visual dikenal sebagai
kesadaran penglihatan. Kesadaran yang terbentuk dengan telinga dan
suara dikenal sebagai kesadaran pendengaran. Kesadaran yang terbentuk
dengan hidung dan aroma dikenal sebagai kesadaran penciuman. Kesadaran
yang terbentuk dengan sistem saraf peraba dan objek yang menyentuh
dikenal sebagai kesadaran peraba. Kesadaran yang terbentuk dengan
pikiran dan objek mental dikenal sebagai kesadaran mental. Bagaikan api
yang membakar lilin dikenal sebagai api lilin, api yang membakar kayu
dikenal sebagai api kayu, api yang membakar arang dikenal sebagai api
arang, dan seterusnya. Dan keberadaan api tersebut tergantung pada
sumber pendukungnya, yakni api lilin tergantung pada lilin (bila lilin
habis, api juga ikut habis), api kayu tergantung pada kayu, dan
seterusnya. Begitu pula kesadaran tergantung pada sumber pendukungnya.
Kesadaran penglihatan tergantung pada mata dan objek visual, kesadaran
pendengaran tergantung pada telinga dan suara, dst. Terdapat juga
kesadaran penghubung antar satu kehidupan dengan kehidupan lain.
Kesadaran ini—seperti layaknya kesadaran di atas—juga tergantung pada
sumber pendukungnya. Kesadaran penghubung kehidupan ini akan dijelaskan
di bawah.
Pencerapan ini (contact) terkondisi oleh indera,
objek indera, dan kesadaran: dengan adanya mata, objek visual, dan
kesadaran visual barulah ada proses penglihatan; dengan adanya telinga,
suara, dan kesadaran pendengaran barulah ada proses pendengaran; dengan
adanya hidung, aroma, dan kesadaran penciuman, barulah ada proses
penciuman; dengan adanya organ pengecap, rasa, dan kesadaran pengecap
barulah ada proses pengecap; dengan adanya sistem saraf peraba, objek
yang menyentuh, dan kesadaran peraba barulah ada proses sentuhan; dengan
adanya pikiran, objek mental, dan kesadaran mental barulah ada proses
pemikiran. [Kesadaran diperlukan dalam proses pencerapan. Misalnya,
kentut yang keras dan bau mungkin tidak dapat didengar ataupun dicium
oleh orang yang sedang tidur nyenyak walau telinga dan hidungnya masih
dalam kondisi yang sehat. Tetapi karena kesadaran pendengaran dan
penciumannya sedang lemah sewaktu tidur, maka ia tidak dapat mendengar
maupun menciumnya, kecuali bila memang kentut tersebut super nyaring
bunyinya dan super pedas baunya.]
Perasaan ini terkondisi oleh
pencerapan (contact): dengan adanya pencerapan barulah ada perasaan yang
menyenangkan, perasaan yang tidak menyenangkan, dan perasaan yang
netral. Misalnya, setelah mendengar lelucon yang lucu, timbul rasa
senang. Rasa senang ini tergantung pada (muncul setelah) adanya contact
(mendengar humor tersebut).
Pikiran ini terkondisi oleh objek
mental: dengan adanya objek mental yang rumit maka pikiran menjadi
rumit; dengan adanya objek mental yang menenangkan maka pikiran menjadi
tenang, dst. Inilah alasannya mengapa Buddha menganjurkan para bhikkhu
untuk hidup menyendiri jauh dari keramaian dan keributan, jauh dari
permasalahan duniawi [MN 03, AN 8.30]. Karena di tempat yang sepi dan
sunyi lah pikiran akan cenderung menjadi tenang.
Ringkasnya,
segala sesuatu yang terkondisi adalah tidak memuaskan. Dan segala yang
tidak memuaskan tidak pantas dianggap sebagai “aku”, “saya”, “milikku”
atau “punyaku.”
Pengertian mulia menghentikan segala ketidakpuasan
Apabila seseorang menganggap ini adalah “aku”, “saya”, “milikku” atau
“punyaku,” maka ia akan terobsesi olehnya. Dengan obsesi ini, maka
munculah keinginan untuk ini dan itu (pokoknya banyak deh
keinginannya!). Keinginan “ini dan itu” lah yang akan terus
mendorongnya untuk tetap dilahirkan kembali ke alam kehidupan. Setelah
dilahirkan, maka suatu hari ia pasti akan sakit, tua, dan mati. Bila
dilahirkan di alam yang tinggi (dewa atau brahma), suatu saat ia juga
akan jatuh kembali ke alam yang lebih rendah, dan seterusnya. Kesadaran
yang menghubungkan kehidupan lampau dengan kehidupan ini dikenal sebagai
kesadaran penghubung. Dan sumber penyokong dari kesadaran penghubung
ini adalah ketidakpahaman terhadap segala hal yang terkondisi. Tetapi
dengan munculnya pengertian mulia tentang ketidakpuasan dari segala hal
yang terkondisi ini, maka kegiuran lenyap. Dengan lenyapnya kegiuran,
keterikatan lenyap. Dengan lenyapnya keterikatan, keinginan untuk “ini
itu” lenyap. Dengan lenyapnya keinginan “ini itu” maka kesadaran
penghubung tersebut sudah tidak disokong lagi—padam bagaikan api lilin
yang padam setelah habisnya lilin yang dahulu menyokongnya [MN 38].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar