Label

Jumat, 24 Februari 2012

Asal Usul kebudayaan tionghoa

LieKlenteng atau Kelenteng adalah sebutan untuk tempat ibadah penganut kepercayaan tradisional Tionghoa di Indonesia pada umumnya. Dikarenakan di Indonesia, penganut kepercayaan tradisional Tionghoa sering disamakan sebagai penganut agama Konghucu , maka klenteng dengan sendirinya disamakan sebagai tempat ibadah agama Konghucu.

Klenteng juga disebut sebagai bio yang merupakan dialek Hokkian dari karakter 廟 (miao). Ini adalah sebutan umum bagi klenteng di Cina.

Pada mulanya 廟 "Miao" adalah tempat penghormatan pada leluhur 祠 "Ci" (rumah abuh). Pada awalnya masing-masing marga membuat "Ci" untuk menghormati para leluhur mereka sebagai rumah abuh. Para dewa-dewi yang dihormati tentunya berasal dari suatu marga tertentu yang pada awalnya dihormati oleh marga/family/klan mereka. Dari perjalanan waktu maka timbullah penghormatan pada para Dewa/Dewi yang kemudian dibuatkan ruangan khusus untuk para Dewa/Dewi yang sekarang ini kita kenal sebagai Miao yang dapat dihormati oleh berbagai macam marga, suku. Saat ini masih di dalam "Miao" masih juga bisa ditemukan (bagian samping atau belakang) di khususkan untuk abuh leluhur yang masih tetap dihormati oleh para sanak keluarga/marga/klan masing-masing. Ada pula di dalam "Miao" disediakan tempat untuk mempelajari ajaran-ajaran/agama leluhur seperti ajaran-ajaran Konghucu, Lao Tze dan bahkan ada pula yang mempelajari ajaran Buddha.


Miao - atau Kelenteng (dalam bahasa Jawa) dapat membuktikan selain sebagai tempat penghormatan para leluhur, para Suci (Dewa/Dewi), dan tempat mempelajari berbagai ajaran - juga adalah tempat yang damai untuk semua golongan tidak memandang dari suku dan agama apa orang itu berasal.
Saat ini Miao (Kelenteng) bukan lagi milik dari marga, suku, agama, organisasi tertentu tapi adalah tempat umum yang dipakai bersama.
Klenteng adalah sebutan umum sehingga klenteng sendiri terbagi atas beberapa kategori:

1. Konghucu:
a. Litang (禮堂)
b. Ci (祠)

2. Taoisme:
a. Gong (宮)
b. Guan (觀)
c. Miao (廟)

3. Buddhisme:
a. Si (寺)
b. An (庵)


QING-MING (CENG BENG)


Qing ming (ceng beng) dirayakan setiap tanggal 5 April. Pada tanggal ini orang-orang biasanya melakukan bersih-bersih terutama di makam keluarga.
Pada jaman dulu perayaan Qing-ming didahului oleh Han-shi-jie (perayaan makan dingin) yang ditandai dengan pati-geni (tak menyalakan api), makan sayur dan nasi dingin. Upacara ini untuk memperingati seorang negarawan setia zaman Zhan-guo bernama Jie Zi-tui yang konon meninggal secara tragis karena kebakaran hutan. Kebiasaan ini bermula dari wilayah Tai-yuan di China utara, karena makanan utama daerah ini adalah gandum. Di wilayah Fujian, terutama Tong’an, dan Jinmen, makanan utama yang disajikan pada perayaan ini adalah chun-jian (atau run-bing, yaitu lunpia).

Di samping sembahyang di kelenteng leluhur dan kepada para shenming, kegiataan utama adalah menyambangi kubur. Sejak dinasti Han, sembahyang di kelenteng dan makam keluarga sama pentingnya. Tapi bagi rakyat jelata karena umumnya tidak punya kelenteng leluhur, sembahyang kubur menjadi yang utama.


Upacara di kuburan biasanya diawali dengan menggantung kertas atau menindih kertas (gua-zhi atau ya-zhi), kemudian bersembahyang kepada Roh Bumi (Hou-tu atau Fu-shen). Lalu mulailah sembahyang yang sebenarnya, dengan sesajian sederhana yaitu hoatkwee, miku dan lain-lain.


Kalau kebetulan habis menyelenggarakan pesta pernikahan, atau ada penambahan anggota keluarga, atau harus melakukan perbaikan kubur (xiu-mu atau pei-mu), maka sesaji harus ditambah 12 mangkok lagi, terutama ‘sayur asin’ dan ‘kering’.

Setelah bersembahyang harus membakar uang perak atau membakar petasan, kadang-kadang juga menggantung lentera merah (tian-deng atau tian-ding) apabila di keluarga tersebut lahir anggota baru. Setelah upacara selesai lentera itu dibawa pulang.


Sesudah sembahyang kubur, tetap harus mengadakan sembahyang di rumah, di altar keluarga (kong-po), lalu diadakan makan bersama antar anggota keluarga, dan barang-barang sesaji dari sembahyang kubur, seperti miku dan hoatkwee, dibagi-bagi diantara mereka semua dan dibawa pulang ke rumah masing-masing.


Adapula segolongan orang yang tidak merayakan sembahyang kubur pada hari Qingming, melainkan pada tanggal 3 bulan 3 (imlik). Umumnya golongan ini berasal dari Zhang-zhou. Mereka mengikuti tradisi yang dipakai oleh Zheng Cheng-gong.

Di Indonesia, sepuluh hari sebelum atau setelah Qingming, boleh dilakukan sembahyang kubur.

YUAN-XIAO (CAP GO MEH)

Capgomeh secara umum disebut Goan-siau (yuan-xiao) atau lengkapnya Cap-go-siang-goan-meh (shi-wu shang-yuan-ming), yaitu tanggal-15 bulan-1 Imlek Ketika kita membalas hormat kepada orang yang menyampaikan salam dengan sikap Pak Tik, sikap hormat yang kita berikan sebagai balasannya dinamakan sikap Poa Thay Kik Pak Tik (Delapan Kebajikan Pelambang Hidup). Sikap ini memunyai perlambang dan makna yang sama dengan sikap Poa Sim Pak Tik. Perbedaan hanya sedikit pada cara waktu menyampaikannya saja, yaitu telapak tangan kiri membuka rapat, lalu dirangkapkan dengan telapak tangan kanan mengepal rapat, kedua ibu jari dipertemukan sehingga membentuk huruf Zen, dan kemudian dilekatkan pada bagian ulu hati.


adalah penutup dalam rangkaian perayaan sin-cia. Dalam Daoisme perayaan ini disebut Shang-yuan untuk merayakan salah satu dari san-guan Da-di yaitu Tian-guan. Pada hari itu mereka mengharap berkah dari Tian-guan (shang-yuan tian-guan ci-fu). Sebab itu pada beberapa keleteng pada malam itu menyuruh seorang berpakaian seperti Tian-guan, lalu membagikan angpao pada para pengunjung. Tapi kemudian acara seperti ini diadakan setiap ada perhelatan di kelenteng, sehingga makna sesungguhnya terlupakan.


Perayaan ini telah dilakukan sejak dinasti Han. Dan pada jaman Tang dan Song menjadi lebih semarak lagi karena dimeriahkan dengan pesta lampion. Bangsawan dan orang kaya di kota – kota berlomba – lomba memasang lampion untuk memamerkan gengsinya. Mereka juga meluapkan kegembiraan karena negeri mulai aman dengan berdirinya kerajaan atau dinasti baru. Pada masa itu pesta lampion berlangsung sampai 5 hari. Sebab itu pesta ini juga dinamai Deng-jie (‘festival lampion’).



Perayaan cap-go-meh berpusat di kelenteng dan di berbagai kota di Indonesia, hari itu biasanya dimeriahkan dengan kirab Toapekong. Acara ini di Jakarta dipusatkan di kelenteng Toa See Bio. Glodok. Selain kesenian tradisional seperti barongsai, liong dan cenggay, juga melibatkan unsur – unsur budaya Betawi, seperti ondel-ondel, gambang kromong, tanjidor dan lain – lain, sehingga menjadi pawai budaya yang multi-kultural. Acara kirab ini juga dilakukan di kota-kota seperti Bogor, Tegal, Lasem dan Singkawang.


Saat Cap-go-meh biasanya diadakan acara khas kaum muda. Di Fujian dan Taiwan ada kebiasaan kaum muda untuk bersembahyang pada Zi-gu, memohon agar dirinya dianugerahi ketrampilan yang sangat diperlukan untuk mengarungi lautan kehidupan. Permohonan ini hamper sama yang dilakukan pada hari raya 7-7 malam kepada Zhi-nu. Konon Zigu adalah seorang gadis yang sangat cerdas dan cekatan serta banyak memiliki ketrampilan. Ia meninggal karena terjerumus di lubang kakus yang sengaja dibuat untuk membunuhnya. Di Taiwan Zigu sering disebut Dong-sheng-gu. Persembahan pada Zigu biasanya terdiri dari buah-buahan dan sayur-sayuran serta sepasang sepatu sulam. Doa kaum remaja terutama wanita tentu saja berisi permohonan yang berbeda-beda, tapi intinya mohon agar dibekali atau ditingkatkan ketrampilannya, supaya dalam pekerjaanya bisa memperoleh hasil yang memadai.



ASAL-USUL LAMPION



Lampion atau Teng Lo Leng atau Teng Lung, pada awalnya dipakai pada saat ronda malam untuk mencari buronan kejahatan, biasanya lampion ditambah tulisan mandarin dan berwarna merah.


Biasanya digunakan di klenteng pada waktu tanggal 15 bulan 7 dan imlek, unutuk tanggal 15 bulan 7 (Cio Ko) biasanya dipakai lampion warna putih untuk penerangan para arwah, sedangkan untuk imlek dipakai warna merah.


Salah satu cerita mengenai asal- usul lampion:



Pada zaman dinasti Ming, ada perampok yang budiman dengan nama Lie Cu Seng di kota Kaifeng, dia biasanya merampok ke orang kaya untuk dibagikan ke orang miskin, dan Lie Cu Seng juga mempunyai gerombolan anak buahnya.


Pada suatu saat dia berencana untuk menyerang kota raja, sebelum melaksanakannya dia mensurvey terlebih dahulu, dan dia mendapat bahwa persepsi / pandangan masyarakat tentang kelompoknya negative atau kejam, Lie Cu Seng menjadi bingung dan unutuk merubah nama buruknya, dia berpura-pura jadi rakyat dan memberi pengumuman bahwa jangan percaya berita tersebut, dia menyuruh semua rakyat miskin untuk menggantung lampion di depan rumahnya maka perompak akan memberikan hasil rampokkannya, dan pada malam harinya dia merampok orang kaya dan membagikannya di rumah-rumah yang terdapat lampion.

Sejak saat itu lampion menjadi terkenal, sebagai rasa terima kasih kepada Lie Cu Seng rakyat memasang lampion, dan pada akhir tahun baru masyarakat juga memasang lampion sebagai tanda mohon berkah, Ping An di akhir tahun baru.


ASAL-USUL PERMAINAN LIONG SAMSI/ BARONGSAI


Permainan Liong Samsi atau yang lebih di kenal dengan permainan barongsai. Permainan ini biasanya ditampilkan untuk acara ritual seperti Yuan Xiao Ci (Cap Go Meh) dan ritual hari kebesaran Dewa-Dewi, tetapi akhir-akhir ini permainan ini sering ditampilkan hampir di setiap event.


Karena ketakutannya seorang kaisar akan adanya pemberontakan yang dilakukan para pendekar untuk mejatuhkan dirinya, maka kaisar menyuruh pembunuh bayaran untuk semua orang yang pandai dan bisa kung fu. Bahkan Shaolin sebagai pusatnya kungfu di Cina juga tidak terlepas dari tragedi tersebut Pembunuhan para pendekar-pendekar tersebut terjadi secara besar-besaran. Banyak pendekar yang telah meninggal serta ada yang lari menyelamatkan diri.



Para pendekar-pendekar tersebut berencana melakukan kudeta kepada kaisar demi membalas dendam teman-teman, guru dan perguruan mereka yang telah dibunuh dan dihancukan oleh sang kaisar.Para pendekar tersebut sadar bahwa kekuatan mereka saat ini belum mencukupi untuk melakukan kudeta. Sambil menunggu waktu yang tepat untuk melakukan kudeta, para pendekar tersebut mulai merekrut orang-orang yang sepaham dengan mereka. Kemudian oleh para pendekar, orang-orang tersebut dilatih kung fu.



Pada suatu saat sang kaisar mengadakan perayaan secara besar-besaran, kaisar mengundang seluruh kesenian yang ada di Cina untuk menghibur kaisar.



Kesempatan ini digunakan oleh para pendekar untuk “mempertunjukan kebolehannya”. Rakyat Cina menganggap bahwa Naga merupakan “raja” dari segala binatang dan Harimau merupakan penguasa tertinggi di daerahnya, kaisar diibaratkan sebagai Naga dan Harimau. Maka para pendekar untuk “menghormati” kaisar menggunakan “Harimau-harimau”an dan “Naga-Naga”an. Kaisar tidak menyadari bahwa dirinya terancam karena “Harimau” dan “Naga “.

Usaha yang lakukan oleh para pendekar tersebut melalui “Harimau” dan “Naga” membuahkan hasil. Kaisar bersama para staffnya tersingkir. Guna memperingati keberhasilan tersebut serta ucapan terima kasih atas bantuan Dewa-Dewi maka setiap ada acara hari kebesaran Dewa-Dewi permainan “Naga” dan “Harimau” selalu ditampilkan bersama dengan kesenian yang lain.


SIN CIA atau TAHUN BARU IMLEK



Tahun Baru Imlek atau Sin Cia jatuh bertepatan dengan datangnya musim semi. Saat ini merupakan awal kegairahan hidup baru untuk setahun mendatang, setelah tiga bulan sebelumnya dirundung kegelapan dan kedinginan selama musim dingin berlangsung. Maka dari itu Tahun Baru Imlek disebut juga Pesta Musim Semi.



Seminggu sebelum Sin Cia tiba, upacara sembahyang sudah resmi dimulai. Pada hari itu, Dewa Dapur (Ciao Kun Kong) berangkat menuju kelangit untuk melapor kepada Tuhan mengenai hal ikhwal penghuni rumah selama satu tahun. Keberangkatannya didahului dengan persembahyangan di altar Dewa Dapur di rumah penghuni yang bersangkutan.


Empat hari sesudah Sin Cia juga diadakan persembahyangan untuk menyambut Dewa Dapur yang turun kembali ke Bumi. Puncak dan sekaligus akhir acara perayaan Sin Cia terjadi pada tanggal 15 bulan 1 (imlek) atau Cia Gwe Cap Go. Pesta ini dikenal dengan nama Cap Go Meh yang berarti malam tanggal lima belas, merupakan malam pertama dapat disaksikannya bulan bundar penuh dalam tahun baru.


Bagi umat Tridharma, Sin Cia merupakan awal tahun yang sangat menentukan. Pada hari itu semua kegiatan sehari-hari dihenntikan, guna menjalankan sembahyang Sin Cia terhadap arwah leluhur. Keluarga yang masih memelihara meja abu melakukan sembahyang di hadapan meja abu tersebut. Bagi keluarga yang tidak lagi memelihara abu leluhur cukup meletakkan sebuah meja menghadap pintu muka rumahnya dan di atas meja ini persembahyangan dilakukan.


Sembahyang Sin Cia berlangsung mulai senja hari di malam sin cia, dan kemudian diulang lagi pada saat tepat pergantian tahun jam 24.00. Persembahan yang dipersiapkan untuk sembahyang selama merayakan sin cia, selain makanan dan buah-buahan seperti biasa, juga di tambah dengan kue khusus tahun baru yang di kenal dengan sebutan “kue keranjang”. Juga disebut kue keranjang Karena kue itu di buat dalam keranjang-keranjang bulat berbagai ukuran, terbuat dari tepung ketan dicampur gula merah dengan bungkus daun pisang atau kertas / plastic.


Pada saat Sin Cia, setelah kita melaksanakan persembahyangan kepada orang tua / Leluhur yang telah meninggal dunia, para suci, para bijaksana para Bodhisatva, dan para Budha, serta pula kepada Tuhan, biasanya yang muda mengunjungi yang lebih tua untuk memberikan selamat Tahun Baru dengan menggunakan sikap Poa Sim Pa Tik (Delapan kebajikan mendekap di hati) atau singkatnya disebut Pak Tik( Delapan Kebajikan).



Ang Pao yang banyak bemunculan saat Tahun baru imlek atau Sin Cia ini merupakan simbol “mudah rejeki”, semoga tahun baru ini akan memperoleh rejeki yang lebih mudah.


Sikap Pak Tik ini dilakukan dengan cara sebagai berikut: telapak tangan kanan membuka rapat, lalu di rangkap dengan telapak tangan kiri yang mempertemukan kedua ibu jari dan kemudian dilekatkan pada bagian ulu hati. Ibu jari kanan melambangkan “ibu” sedangkan ibu jari kiri melambangkan “ayah”. Pertemuan kedua ibu jari membentuk huruf Zen yang berarti manusia. Pertemuan antar kedua ibu jari, dan kedua telapak tangan melambangkan “Thian”. Dilekatkan pada bagian ulu hati melambangkan “selalu ingat”.



Jadi sikap Pak Tik ini bermakna “Aku selalu ingat akan Thian yang dengan perantara ayah dan ibu telah menjadikan diriku sebagai manusia. Sebagai sesama aku akan mengamalkan delapan kebajikan kepada sesama”.

Ajaran delapan kebajikan (Pak Tik) yang telah disampaikan oleh Nabi Agung Khong Hu Cu kepada kita adalah sebagai berikut:
Hauw (Laku Bakti),
Tee (Rendah Hati),
Tiong (Setia),
Sin (Jujur) ,
Lee (Kesusilaan),
Gie (Kebenaran),
Lhiam (Suci Hati), dan
Thi ( Tahu Malu).