Label

Jumat, 24 Februari 2012

Asal Usul kebudayaan tionghoa

LieKlenteng atau Kelenteng adalah sebutan untuk tempat ibadah penganut kepercayaan tradisional Tionghoa di Indonesia pada umumnya. Dikarenakan di Indonesia, penganut kepercayaan tradisional Tionghoa sering disamakan sebagai penganut agama Konghucu , maka klenteng dengan sendirinya disamakan sebagai tempat ibadah agama Konghucu.

Klenteng juga disebut sebagai bio yang merupakan dialek Hokkian dari karakter 廟 (miao). Ini adalah sebutan umum bagi klenteng di Cina.

Pada mulanya 廟 "Miao" adalah tempat penghormatan pada leluhur 祠 "Ci" (rumah abuh). Pada awalnya masing-masing marga membuat "Ci" untuk menghormati para leluhur mereka sebagai rumah abuh. Para dewa-dewi yang dihormati tentunya berasal dari suatu marga tertentu yang pada awalnya dihormati oleh marga/family/klan mereka. Dari perjalanan waktu maka timbullah penghormatan pada para Dewa/Dewi yang kemudian dibuatkan ruangan khusus untuk para Dewa/Dewi yang sekarang ini kita kenal sebagai Miao yang dapat dihormati oleh berbagai macam marga, suku. Saat ini masih di dalam "Miao" masih juga bisa ditemukan (bagian samping atau belakang) di khususkan untuk abuh leluhur yang masih tetap dihormati oleh para sanak keluarga/marga/klan masing-masing. Ada pula di dalam "Miao" disediakan tempat untuk mempelajari ajaran-ajaran/agama leluhur seperti ajaran-ajaran Konghucu, Lao Tze dan bahkan ada pula yang mempelajari ajaran Buddha.


Miao - atau Kelenteng (dalam bahasa Jawa) dapat membuktikan selain sebagai tempat penghormatan para leluhur, para Suci (Dewa/Dewi), dan tempat mempelajari berbagai ajaran - juga adalah tempat yang damai untuk semua golongan tidak memandang dari suku dan agama apa orang itu berasal.
Saat ini Miao (Kelenteng) bukan lagi milik dari marga, suku, agama, organisasi tertentu tapi adalah tempat umum yang dipakai bersama.
Klenteng adalah sebutan umum sehingga klenteng sendiri terbagi atas beberapa kategori:

1. Konghucu:
a. Litang (禮堂)
b. Ci (祠)

2. Taoisme:
a. Gong (宮)
b. Guan (觀)
c. Miao (廟)

3. Buddhisme:
a. Si (寺)
b. An (庵)


QING-MING (CENG BENG)


Qing ming (ceng beng) dirayakan setiap tanggal 5 April. Pada tanggal ini orang-orang biasanya melakukan bersih-bersih terutama di makam keluarga.
Pada jaman dulu perayaan Qing-ming didahului oleh Han-shi-jie (perayaan makan dingin) yang ditandai dengan pati-geni (tak menyalakan api), makan sayur dan nasi dingin. Upacara ini untuk memperingati seorang negarawan setia zaman Zhan-guo bernama Jie Zi-tui yang konon meninggal secara tragis karena kebakaran hutan. Kebiasaan ini bermula dari wilayah Tai-yuan di China utara, karena makanan utama daerah ini adalah gandum. Di wilayah Fujian, terutama Tong’an, dan Jinmen, makanan utama yang disajikan pada perayaan ini adalah chun-jian (atau run-bing, yaitu lunpia).

Di samping sembahyang di kelenteng leluhur dan kepada para shenming, kegiataan utama adalah menyambangi kubur. Sejak dinasti Han, sembahyang di kelenteng dan makam keluarga sama pentingnya. Tapi bagi rakyat jelata karena umumnya tidak punya kelenteng leluhur, sembahyang kubur menjadi yang utama.


Upacara di kuburan biasanya diawali dengan menggantung kertas atau menindih kertas (gua-zhi atau ya-zhi), kemudian bersembahyang kepada Roh Bumi (Hou-tu atau Fu-shen). Lalu mulailah sembahyang yang sebenarnya, dengan sesajian sederhana yaitu hoatkwee, miku dan lain-lain.


Kalau kebetulan habis menyelenggarakan pesta pernikahan, atau ada penambahan anggota keluarga, atau harus melakukan perbaikan kubur (xiu-mu atau pei-mu), maka sesaji harus ditambah 12 mangkok lagi, terutama ‘sayur asin’ dan ‘kering’.

Setelah bersembahyang harus membakar uang perak atau membakar petasan, kadang-kadang juga menggantung lentera merah (tian-deng atau tian-ding) apabila di keluarga tersebut lahir anggota baru. Setelah upacara selesai lentera itu dibawa pulang.


Sesudah sembahyang kubur, tetap harus mengadakan sembahyang di rumah, di altar keluarga (kong-po), lalu diadakan makan bersama antar anggota keluarga, dan barang-barang sesaji dari sembahyang kubur, seperti miku dan hoatkwee, dibagi-bagi diantara mereka semua dan dibawa pulang ke rumah masing-masing.


Adapula segolongan orang yang tidak merayakan sembahyang kubur pada hari Qingming, melainkan pada tanggal 3 bulan 3 (imlik). Umumnya golongan ini berasal dari Zhang-zhou. Mereka mengikuti tradisi yang dipakai oleh Zheng Cheng-gong.

Di Indonesia, sepuluh hari sebelum atau setelah Qingming, boleh dilakukan sembahyang kubur.

YUAN-XIAO (CAP GO MEH)

Capgomeh secara umum disebut Goan-siau (yuan-xiao) atau lengkapnya Cap-go-siang-goan-meh (shi-wu shang-yuan-ming), yaitu tanggal-15 bulan-1 Imlek Ketika kita membalas hormat kepada orang yang menyampaikan salam dengan sikap Pak Tik, sikap hormat yang kita berikan sebagai balasannya dinamakan sikap Poa Thay Kik Pak Tik (Delapan Kebajikan Pelambang Hidup). Sikap ini memunyai perlambang dan makna yang sama dengan sikap Poa Sim Pak Tik. Perbedaan hanya sedikit pada cara waktu menyampaikannya saja, yaitu telapak tangan kiri membuka rapat, lalu dirangkapkan dengan telapak tangan kanan mengepal rapat, kedua ibu jari dipertemukan sehingga membentuk huruf Zen, dan kemudian dilekatkan pada bagian ulu hati.


adalah penutup dalam rangkaian perayaan sin-cia. Dalam Daoisme perayaan ini disebut Shang-yuan untuk merayakan salah satu dari san-guan Da-di yaitu Tian-guan. Pada hari itu mereka mengharap berkah dari Tian-guan (shang-yuan tian-guan ci-fu). Sebab itu pada beberapa keleteng pada malam itu menyuruh seorang berpakaian seperti Tian-guan, lalu membagikan angpao pada para pengunjung. Tapi kemudian acara seperti ini diadakan setiap ada perhelatan di kelenteng, sehingga makna sesungguhnya terlupakan.


Perayaan ini telah dilakukan sejak dinasti Han. Dan pada jaman Tang dan Song menjadi lebih semarak lagi karena dimeriahkan dengan pesta lampion. Bangsawan dan orang kaya di kota – kota berlomba – lomba memasang lampion untuk memamerkan gengsinya. Mereka juga meluapkan kegembiraan karena negeri mulai aman dengan berdirinya kerajaan atau dinasti baru. Pada masa itu pesta lampion berlangsung sampai 5 hari. Sebab itu pesta ini juga dinamai Deng-jie (‘festival lampion’).



Perayaan cap-go-meh berpusat di kelenteng dan di berbagai kota di Indonesia, hari itu biasanya dimeriahkan dengan kirab Toapekong. Acara ini di Jakarta dipusatkan di kelenteng Toa See Bio. Glodok. Selain kesenian tradisional seperti barongsai, liong dan cenggay, juga melibatkan unsur – unsur budaya Betawi, seperti ondel-ondel, gambang kromong, tanjidor dan lain – lain, sehingga menjadi pawai budaya yang multi-kultural. Acara kirab ini juga dilakukan di kota-kota seperti Bogor, Tegal, Lasem dan Singkawang.


Saat Cap-go-meh biasanya diadakan acara khas kaum muda. Di Fujian dan Taiwan ada kebiasaan kaum muda untuk bersembahyang pada Zi-gu, memohon agar dirinya dianugerahi ketrampilan yang sangat diperlukan untuk mengarungi lautan kehidupan. Permohonan ini hamper sama yang dilakukan pada hari raya 7-7 malam kepada Zhi-nu. Konon Zigu adalah seorang gadis yang sangat cerdas dan cekatan serta banyak memiliki ketrampilan. Ia meninggal karena terjerumus di lubang kakus yang sengaja dibuat untuk membunuhnya. Di Taiwan Zigu sering disebut Dong-sheng-gu. Persembahan pada Zigu biasanya terdiri dari buah-buahan dan sayur-sayuran serta sepasang sepatu sulam. Doa kaum remaja terutama wanita tentu saja berisi permohonan yang berbeda-beda, tapi intinya mohon agar dibekali atau ditingkatkan ketrampilannya, supaya dalam pekerjaanya bisa memperoleh hasil yang memadai.



ASAL-USUL LAMPION



Lampion atau Teng Lo Leng atau Teng Lung, pada awalnya dipakai pada saat ronda malam untuk mencari buronan kejahatan, biasanya lampion ditambah tulisan mandarin dan berwarna merah.


Biasanya digunakan di klenteng pada waktu tanggal 15 bulan 7 dan imlek, unutuk tanggal 15 bulan 7 (Cio Ko) biasanya dipakai lampion warna putih untuk penerangan para arwah, sedangkan untuk imlek dipakai warna merah.


Salah satu cerita mengenai asal- usul lampion:



Pada zaman dinasti Ming, ada perampok yang budiman dengan nama Lie Cu Seng di kota Kaifeng, dia biasanya merampok ke orang kaya untuk dibagikan ke orang miskin, dan Lie Cu Seng juga mempunyai gerombolan anak buahnya.


Pada suatu saat dia berencana untuk menyerang kota raja, sebelum melaksanakannya dia mensurvey terlebih dahulu, dan dia mendapat bahwa persepsi / pandangan masyarakat tentang kelompoknya negative atau kejam, Lie Cu Seng menjadi bingung dan unutuk merubah nama buruknya, dia berpura-pura jadi rakyat dan memberi pengumuman bahwa jangan percaya berita tersebut, dia menyuruh semua rakyat miskin untuk menggantung lampion di depan rumahnya maka perompak akan memberikan hasil rampokkannya, dan pada malam harinya dia merampok orang kaya dan membagikannya di rumah-rumah yang terdapat lampion.

Sejak saat itu lampion menjadi terkenal, sebagai rasa terima kasih kepada Lie Cu Seng rakyat memasang lampion, dan pada akhir tahun baru masyarakat juga memasang lampion sebagai tanda mohon berkah, Ping An di akhir tahun baru.


ASAL-USUL PERMAINAN LIONG SAMSI/ BARONGSAI


Permainan Liong Samsi atau yang lebih di kenal dengan permainan barongsai. Permainan ini biasanya ditampilkan untuk acara ritual seperti Yuan Xiao Ci (Cap Go Meh) dan ritual hari kebesaran Dewa-Dewi, tetapi akhir-akhir ini permainan ini sering ditampilkan hampir di setiap event.


Karena ketakutannya seorang kaisar akan adanya pemberontakan yang dilakukan para pendekar untuk mejatuhkan dirinya, maka kaisar menyuruh pembunuh bayaran untuk semua orang yang pandai dan bisa kung fu. Bahkan Shaolin sebagai pusatnya kungfu di Cina juga tidak terlepas dari tragedi tersebut Pembunuhan para pendekar-pendekar tersebut terjadi secara besar-besaran. Banyak pendekar yang telah meninggal serta ada yang lari menyelamatkan diri.



Para pendekar-pendekar tersebut berencana melakukan kudeta kepada kaisar demi membalas dendam teman-teman, guru dan perguruan mereka yang telah dibunuh dan dihancukan oleh sang kaisar.Para pendekar tersebut sadar bahwa kekuatan mereka saat ini belum mencukupi untuk melakukan kudeta. Sambil menunggu waktu yang tepat untuk melakukan kudeta, para pendekar tersebut mulai merekrut orang-orang yang sepaham dengan mereka. Kemudian oleh para pendekar, orang-orang tersebut dilatih kung fu.



Pada suatu saat sang kaisar mengadakan perayaan secara besar-besaran, kaisar mengundang seluruh kesenian yang ada di Cina untuk menghibur kaisar.



Kesempatan ini digunakan oleh para pendekar untuk “mempertunjukan kebolehannya”. Rakyat Cina menganggap bahwa Naga merupakan “raja” dari segala binatang dan Harimau merupakan penguasa tertinggi di daerahnya, kaisar diibaratkan sebagai Naga dan Harimau. Maka para pendekar untuk “menghormati” kaisar menggunakan “Harimau-harimau”an dan “Naga-Naga”an. Kaisar tidak menyadari bahwa dirinya terancam karena “Harimau” dan “Naga “.

Usaha yang lakukan oleh para pendekar tersebut melalui “Harimau” dan “Naga” membuahkan hasil. Kaisar bersama para staffnya tersingkir. Guna memperingati keberhasilan tersebut serta ucapan terima kasih atas bantuan Dewa-Dewi maka setiap ada acara hari kebesaran Dewa-Dewi permainan “Naga” dan “Harimau” selalu ditampilkan bersama dengan kesenian yang lain.


SIN CIA atau TAHUN BARU IMLEK



Tahun Baru Imlek atau Sin Cia jatuh bertepatan dengan datangnya musim semi. Saat ini merupakan awal kegairahan hidup baru untuk setahun mendatang, setelah tiga bulan sebelumnya dirundung kegelapan dan kedinginan selama musim dingin berlangsung. Maka dari itu Tahun Baru Imlek disebut juga Pesta Musim Semi.



Seminggu sebelum Sin Cia tiba, upacara sembahyang sudah resmi dimulai. Pada hari itu, Dewa Dapur (Ciao Kun Kong) berangkat menuju kelangit untuk melapor kepada Tuhan mengenai hal ikhwal penghuni rumah selama satu tahun. Keberangkatannya didahului dengan persembahyangan di altar Dewa Dapur di rumah penghuni yang bersangkutan.


Empat hari sesudah Sin Cia juga diadakan persembahyangan untuk menyambut Dewa Dapur yang turun kembali ke Bumi. Puncak dan sekaligus akhir acara perayaan Sin Cia terjadi pada tanggal 15 bulan 1 (imlek) atau Cia Gwe Cap Go. Pesta ini dikenal dengan nama Cap Go Meh yang berarti malam tanggal lima belas, merupakan malam pertama dapat disaksikannya bulan bundar penuh dalam tahun baru.


Bagi umat Tridharma, Sin Cia merupakan awal tahun yang sangat menentukan. Pada hari itu semua kegiatan sehari-hari dihenntikan, guna menjalankan sembahyang Sin Cia terhadap arwah leluhur. Keluarga yang masih memelihara meja abu melakukan sembahyang di hadapan meja abu tersebut. Bagi keluarga yang tidak lagi memelihara abu leluhur cukup meletakkan sebuah meja menghadap pintu muka rumahnya dan di atas meja ini persembahyangan dilakukan.


Sembahyang Sin Cia berlangsung mulai senja hari di malam sin cia, dan kemudian diulang lagi pada saat tepat pergantian tahun jam 24.00. Persembahan yang dipersiapkan untuk sembahyang selama merayakan sin cia, selain makanan dan buah-buahan seperti biasa, juga di tambah dengan kue khusus tahun baru yang di kenal dengan sebutan “kue keranjang”. Juga disebut kue keranjang Karena kue itu di buat dalam keranjang-keranjang bulat berbagai ukuran, terbuat dari tepung ketan dicampur gula merah dengan bungkus daun pisang atau kertas / plastic.


Pada saat Sin Cia, setelah kita melaksanakan persembahyangan kepada orang tua / Leluhur yang telah meninggal dunia, para suci, para bijaksana para Bodhisatva, dan para Budha, serta pula kepada Tuhan, biasanya yang muda mengunjungi yang lebih tua untuk memberikan selamat Tahun Baru dengan menggunakan sikap Poa Sim Pa Tik (Delapan kebajikan mendekap di hati) atau singkatnya disebut Pak Tik( Delapan Kebajikan).



Ang Pao yang banyak bemunculan saat Tahun baru imlek atau Sin Cia ini merupakan simbol “mudah rejeki”, semoga tahun baru ini akan memperoleh rejeki yang lebih mudah.


Sikap Pak Tik ini dilakukan dengan cara sebagai berikut: telapak tangan kanan membuka rapat, lalu di rangkap dengan telapak tangan kiri yang mempertemukan kedua ibu jari dan kemudian dilekatkan pada bagian ulu hati. Ibu jari kanan melambangkan “ibu” sedangkan ibu jari kiri melambangkan “ayah”. Pertemuan kedua ibu jari membentuk huruf Zen yang berarti manusia. Pertemuan antar kedua ibu jari, dan kedua telapak tangan melambangkan “Thian”. Dilekatkan pada bagian ulu hati melambangkan “selalu ingat”.



Jadi sikap Pak Tik ini bermakna “Aku selalu ingat akan Thian yang dengan perantara ayah dan ibu telah menjadikan diriku sebagai manusia. Sebagai sesama aku akan mengamalkan delapan kebajikan kepada sesama”.

Ajaran delapan kebajikan (Pak Tik) yang telah disampaikan oleh Nabi Agung Khong Hu Cu kepada kita adalah sebagai berikut:
Hauw (Laku Bakti),
Tee (Rendah Hati),
Tiong (Setia),
Sin (Jujur) ,
Lee (Kesusilaan),
Gie (Kebenaran),
Lhiam (Suci Hati), dan
Thi ( Tahu Malu).

Minggu, 19 Februari 2012

PENERAPAN DHAMMA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI :

PENERAPAN DHAMMA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI :

Banyak hal yang patut kita terapkan dari ajaran Buddha di dalam kehidupan kita sehari-hari, antara lain: kesabaran, cinta kasih, belas kasihan, ketekunan, kesederhanaan, mudah puas, rendah hati, murah hati, berperilaku baik, dst. Buddha mengatakan, “Kesabaran adalah berkah tertinggi” [SN 2.4]. Dan cinta kasih dan belas kasihan merupakan fondasi ajaran Buddha (Baca Bab 1A tentang sifat belas kasihan Buddha yang patut dijadikan teladan). Kita juga patut menjadikan usaha dan tekad petapa Gotama sebagai teladan. Dan juga patut meneladani dirinya yang hidup sederhana dan mudah puas. Jalanilah hidup kita dengan rendah hati karena kelak, segalanya akan terpisah dari kita. Sifat murah hati dan berperilaku baik akan dibahas secara lebih mendetail di bawah. Selanjutnya ajaran “tanpa diri/roh/aku”yang sulit dipahami tersebut akan dibahas secara bertahap dengan tujuan agar para umat Buddha dapat memahami hidup ini selayaknya seorang pengikut Buddha.

A. Dâna


Dikatakan bila seseorang membilas sisa makanannya di kolam air (danau) dan berpikir, "biarlah ikan-ikan ini memakan sisa makanan ini," maka ia telah termasuk berdana [AN 3.57].


Ajaran Buddha mengajarkan kita berdana. Buddha tidak pernah menyuruh kita untuk berdana hanya untuk kepentingan Buddha, Dhamma, dan Saõgha saja. Yang dikatakan Buddha adalah dana yang diberikan kepada orang yang berbudi luhur akan memberikan hasil yang lebih bagus [AN 3.57, MN 142]. Dan dana yang diberikan untuk kalangan banyak akan lebih bagus kualitasnya [MN 142]. Untuk itu, pemberian dana kepada Saõgha seharusnya tidak ditujukan hanya kepada bhikkhu-bhikkhu tertentu atau vihâra-vihâra tertentu, akan tetapi seharusnya ditujukan kepada seluruh anggota Saõgha yang mencakup seluruh bhikkhu dan bhikkhuóî di seluruh penjuru dunia. Dana yang diberikan kepada Saõgha sedemikian rupa malahan melampaui dana yang diberikan kepada Buddha sekalipun [MN 142].


Tetapi faktor pikiran dalam berdana itu merupakan faktor terpenting (Baca Bab 1B). Mereka yang berdana kemudian menyesal berat atas dana yang diberikan kelak akan memudarkan hasil yang akan diperolehnya. Selalu ingatlah bahwa dana itu adalah pendukung pikiran [AN 7.49]. Ia bersifat membagi apa yang kita miliki. Ia menjadikan pikiran ini berbahagia atas dana yang diberikan, dan kebahagiaan tersebut akan membawa kepada ketenangan batin yang lebih tinggi [AN 11.1]. Maka dari itu, dikatakanlah "dana adalah pendukung pikiran." Inilah motivasi berdana yang termulia yang dinyatakan oleh Buddha [AN 7.49].




B. Sîla


Buddha mengajari kita untuk melaksanakan sîla (berperilaku baik) disertai pengertian yang sesuai dengan Dhamma. Dalam hal ini Buddha membedakan sîla menjadi dua jenis, yakni sîla yang berhubungan dengan ajaran Dhamma yang lebih tinggi & sîla yang tidak berhubungan dengan ajaran Dhamma yang lebih tinggi [MN 117]. Ketika seseorang melaksanakan sîla sesuai dengan ajaran Dhamma yang lebih tinggi, maka ia akan meraih manfaat yang jauh lebih tinggi pula. Dan bila ia melaksanakannya tanpa seiring dengan ajaran Dhamma yang lebih tinggi tersebut, maka hasil yang ia peroleh tidak akan sebagus itu. Kemudian Buddha menyebutkan bahwa hal yang membedakan sîla ini menjadi dua jenis tersebut adalah pemahaman seseorang terhadap Dhamma. Dengan kata lain, kita akan meraih manfaat yang lebih besar apabila pelaksanaan sîla kita diiringi dengan pemahaman yang baik terhadap Dhamma. Malahan Buddha dengan jelas mengatakan bahwa pengertian/pemahaman Dhamma seharusnya mendahului sîla [MN 117].


Salah satu kisah yang paling bagus untuk kita pelajari yang berhubungan dengan sîla dan kebijaksanaan adalah kisah Isidatta dan Purana [AN 6.44]. Isidatta dan Purana adalah dua bersaudara yang hidup di masa Buddha. Mereka masing-masing berkeluarga (memiliki isteri). Akan tetapi, di akhir kehidupannya, Purana tidak berhubungan intim lagi dengan isterinya. Sedangkan saudaranya, Isidatta, hidup selayaknya seorang suami dengan isterinya. Suatu saat isteri Purana, Migasala, bertanya kepada Bhikkhu Ânanda mengapa suaminya yang memiliki sîla yang lebih bagus itu (dibanding Isidatta) dinyatakan sama tingkat batinnya (dengan Isidatta) oleh Buddha. Bhikkhu Ânanda tidak dapat menjawab pertanyaan Migasala. Kemudian ia mencari tahu dari Buddha alasan mengapa Buddha menyatakan bahwa mereka adalah sama dalam hal tingkat batin (keduanya dinyatakan sebagai Sakadâgâmi). Buddha mengingatkan Bhikkhu Ânanda (Sotâpanna) agar ia tidak semberono dalam menilai orang lain. Buddha mengatakan, “Siapakah Migasala, yang tidak mengerti Dhamma dan sembarang menilai/membandingkan orang lain ? Hanya Aku, atau murid-murid yang sebanding diri-Ku lah yang dapat menilai orang lain.” Kemudian Buddha menjelaskan kepada Bhikkhu Ânanda bahwa Isidatta adalah seorang yang bijaksana akan tetapi dalam hal sîla, ia tidak sehebat Purana. Sedangkan Purana adalah seorang yang beretika tinggi, namum dalam hal kebijaksanaan ia tidak sebanding Isidatta. Oleh karena alasan inilah, maka mereka adalah sebanding dalam hal tingkatan batin. Akan tetapi, kita harus menyadari bahwa walaupun Purana kurang hebat dibanding dengan Isidatta dalam hal kebijaksanaan, akan tetapi tentunya kebijaksanaan Purana bukanlah lemah karena ia telah memiliki pemahaman Dhamma yang tinggi (selayaknya seorang Sakadâgâmi).


Dua kisah yang menarik ini menunjukan kepada kita bahwa:


1) Kita seharusnya memiliki pengertian Dhamma yang baik.


2) Sîla yang baik disertai pengertian Dhamma yang lebih mendalam akan memberikan manfaat yang lebih besar.


Mari kita meneliti lima latihan kemoralan yang dianjurkan Buddha [AN 8.26]:


1) Berusaha untuk menghindari pembunuhan ataupun penganiyaan


Seperti yang dikatakan dalam melaksanakan sîla kita seharusnya juga memiliki pengertian yang baik. Dalam hal ini kita seharusnya mengerti bahwa makhluk-makhluk kecil sekalipun, seperti serangga, takut mati. Mereka juga tidak ingin disakiti. Mengerti secara sungguh-sungguh tentang kenyataan ini, maka kita seharusnya tidak melukai mereka ataupun membunuh mereka. Bukankah diri kita sendiri tidak ingin disakiti dan dibunuh? Untuk itulah, kita seharusnya mengembangkan rasa cinta kasih dan belas kasihan kepada semua makhluk. Pikiran untuk membunuh atau menyakiti makhluk lain tidak mungkin dapat muncul lagi di diri seseorang yang telah memiliki cukup pengembangan cinta kasih dan belas kasihan. Buddha mengatakan bahwa sîla seharusnya diiringi dengan pemahaman, daya upaya, dan perenungan yang sesuai dengan Dhamma [MN 117]. Dalam hal ini, upaya untuk tidak melukai dan upaya untuk melenyapkan kebencian dan mengembangkan cinta kasih seharusnya dikembangkan.


2) Berusaha untuk menghindari pencurian atau mengambil barang yang tidak diberikan


Mengambil barang milik orang lain yang tidak diberikan kepada kita itulah yang disebut mencuri. Tetapi tidak semua pencurian itu sama kadarnya. Ada jenis pencurian yang lebih parah dibanding yang lain. Misalnya ketika seseorang merampas milik orang lain selayaknya seorang perampok, maka ia melakukan tindakan yang parah, yang akan menghancurkan nama baiknya, yang juga akan membawa hukuman penjara kepadanya. Kita seharusnya mengerti bahwa semua orang tidak ingin kehilangan harta benda mereka. Kemudian kita seharusnya mengerti bahwa keserakahan adalah sumber penderitaan. Puas dengan apa yang telah kita miliki dan tidak tergila-gila dengan milik orang lain adalah sifat yang seharusnya kita kembangkan. Jadi bila kedua pengertian ini telah banyak dikembangkan di diri ini dengan upaya yang sungguh-sungguh, maka kita akan dengan mudah menghindari pencurian. Dengan demikian, kapan saja kalau kita mau, kita dapat merenungi kembali sîla kita yang tidak ternoda, dan selalu berbahagia oleh karenanya. Inilah manfaat sîla yang setingkat lebih tinggi dari sekedar melaksanakannya begitu saja [AN 11.1].


3) Berusaha untuk menghindari hubungan seks yang melanggar norma


Berhubungan seks dengan mereka yang telah menikah, bertunangan, yang masih diasuh oleh sanak keluarga, yang dilindungi oleh peraturan setempat, yang dilindungi oleh adat setempat, yang tidak diinginkan orang tersebut (pemaksaan) adalah semuanya termasuk tindakan yang tercela [MN 41]. Pengertian yang seharusnya dikembangkan di sini adalah kesadaran yang tinggi tentang bahayanya nafsu yang tidak terkendalikan. Banyak orang-orang sukses yang hancur kariernya dikarenakan mereka tidak mampu mengendalikan nafsu mereka. Hanya satu kesalahan kecil mampu menghancurkan hidup yang bahagia. Ini adalah pengertian yang seharusnya direnungkan dari saat ke saat. Usaha untuk menghindari hubungan seks yang melanggar norma juga seharusnya dikembangkan dengan menghindari kontak/hubungan yang tidak senonoh. Bila kita merasa suatu kebiasaan kita memberikan banyak kesempatan bagi kita untuk berhubungan seks yang melanggar norma, maka hindarilah kebiasaan tersebut.


4) Berusaha untuk menghindari perkataan yang tercela


Menyampaikan sesuatu yang tidak benar adalah termasuk berbohong. Pengecualiannya adalah bila kita sendiri tidak tahu bahwa hal tersebut adalah tidak benar. Misalnya kalau orang-orang mengatakan obat ini ampuh untuk penyakit tertentu dan kita menyampaikan informasi tersebut juga kepada orang lain. Akan tetapi, suatu saat penelitian menunjukan bahwa obat tersebut sebenarnya tidak ampuh sama sekali untuk penyakit tersebut, maka kita tidak termasuk berbohong. Dan berbohong, juga tidak semuanya memiliki kadar yang sama. Misalnya, memfitnah adalah jenis yang lebih jahat. Pengertian yang seharusnya dikembangkan adalah menyadari bahwa diri kita sendiri tidak ingin ditipu, dibohongi. Hal-hal lain yang juga patut dikembangkan adalah rasa kasih sayang dan belas kasihan kepada sesama manusia. Sifat takut dan malu untuk berbohong juga adalah sifat yang patut dikembangkan [SN 1.18]. Sifat malu dan takut adalah dua sifat yang dipuji oleh Buddha karena kedua sifat ini menghindari diri kita dari perbuatan-perbuatan yang merugikan. Perkataan kotor dan kasar yang melukai hati orang lain juga seharusnya dihindari. Adu domba dan gosip-gosip juga seharusnya dihindari.


5) Berusaha untuk menghindari penggunakan minuman dan obat-obatan yang dapat melemahkan kesadaran diri


Minuman dan obat-obatan yang termasuk dalam katagori ini adalah minuman yang mengandung alkohol dan obat-obat terlarang yang mempengaruhi kesadaran diri. Penggunaan obat-obat terlarang tidak diperbolehkan hampir di semua negara. Malahan bila seseorang menggunakannya, maka ia akan berhubungan dengan pihak yang berwenang. Minuman beralkohol juga seharusnya dihindari [SN 2.14]. Pengecualiannya adalah ketika kita sakit dan obat yang diberikan tersebut mengandung kadar alkohol atau unsur kimia yang mempengaruhi kesadaran diri.


Jadi kita telah menjelaskan secara cukup rinci bagaimana sîla seharusnya dilaksanakan, yakni pertama-tama seharusnya didasari dengan pengertian, kemudian pelaksanaan sîla tersebut juga seharusnya diiringi dengan daya upaya dan perenungan yang sesuai dengan Dhamma. Pelaksanaan sîla adalah latihan utama/dasar dalam ajaran Buddha. Kita seharusnya menghindari perbuatan yang dapat mendatangkan keresahan dan penyesalan yang panjang di hidup kita.


C. Pengertian mulia


Pengertian mulia tentang keyakinan


Umat Buddha adalah mereka yang menganggap Buddha sebagai guru pembimbing mereka. Dan ajaran Buddha lah yang menghubungkan Buddha dengan umat-Nya terutama untuk masa sekarang. Dengan kata lain, umat Buddha melihat Buddha melalui ajaran-Nya, bukan dengan bertemu muka dengan-Nya. Setelah mengerti ajaran tersebut, barulah umat Buddha mengatakan, “Wah, siapapun yang mengajarkan ajaran ini, tentulah ia memiliki kebijaksanaan yang luar biasa.” Ini adalah bagaikan seseorang yang telah melihat sinar cahaya dan dengan sendirinya mengetahui secara pasti adanya sumber cahaya (walau ia belum melihat langsung sumber cahaya tersebut). Kepercayaan terhadap Buddha ini bukanlah kepercayaan akan sosok fisik-Nya (apakah ia pangeran, lahir di Nepal, lahir 2500 tahun yang lalu, ras India, dst), akan tetapi mempercayai pencerahan yang diraih-Nya. Ingat, ‘Buddha’ berarti ‘Ia yang tercerahkan (dengan upaya sendiri).’ Dan Buddha pernah mengatakan kepada seorang bhikkhu yang telah lama ingin melihat diri-Nya dan yang sedang menghadapi ajalnya (keinginan terakhir hidupnya adalah melihat Buddha), “Cukuplah, apa yang perlu dilihat dari sosok tubuh yang kotor ini ? Sesungguhnya ia yang melihat Dhamma melihat diri-Ku, dan ia yang melihat diri-Ku melihat Dhamma” [SN 22.87]. Jelaslah melihat Buddha di sini tidak berarti melihat sosok tubuh-Nya, akan tetapi mengerti jelas pencerahan yang dicapai-Nya.


Oleh karena itu, maka pengertian terhadap ajaran Buddha itu adalah yang pokok, yang utama, dan yang terpenting. Dengan mengerti ajaran Buddha melalui pandangan terang, maka keyakinan yang disebutkan di atas akan muncul dengan sendirinya, bagaikan seseorang yang mengetahui secara pasti adanya sumber cahaya setelah terlebih dahulu melihat sinar cahaya tersebut secara langsung. Dalam hal ini, pengertian dan keyakinan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Seseorang tidak dapat mengatakan bahwa ia mengerti tapi tidak yakin. Demikian pula ia tidak dapat mengatakan bahwa ia yakin tapi tidak mengerti.


Pengertian mulia tentang ketidak-puasan yang selalu menyertai segala yang terkondisi


Secara singkat, apapun yang terkondisi akan berubah, hancur, dan lenyap. Maksud dari “terkondisi” di sini adalah keberadaannya tergantung pada keberadaan hal lainnya (tidak tetap). Dengan kata lain, sifatnya dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Misalnya, baju yang indah terkondisi oleh bahan/benangnya. Benang terkondisi oleh kelembaban dan temperatur. Kelembaban dan temperatur juga terkondisi oleh hal-hal lainnya, dan seterusnya.


Dan secara singkat pula, apapun yang terkondisi (tidak tetap) adalah tidak memuaskan. Diri ini yang dikenal sebagai “aku”, “saya”, “milikku”, atau “punyaku” adalah terkondisi [SN 22.59]. Dan bagaimanakah sesungguhnya diri ini terkondisi ?


Pengertian mulia tentang diri ini


Badan ini terkondisi oleh makanan, perawatan, dan usia. Walau dirawat dengan sebaik-baiknya dan diberi makanan yang paling bergizi, badan ini suatu hari tetap akan menjadi mayat via aging. Kalau tidak diberi makanan dan perawatan, badan ini akan menjadi mayat via expressway! Inilah kenyataan tentang badan ini yang selalu terkondisi oleh makanan, perawatan, dan usia.


Kesadaran ini juga terkondisi [MN 38]. Kesadaran yang terbentuk dengan mata dan objek visual dikenal sebagai kesadaran penglihatan. Kesadaran yang terbentuk dengan telinga dan suara dikenal sebagai kesadaran pendengaran. Kesadaran yang terbentuk dengan hidung dan aroma dikenal sebagai kesadaran penciuman. Kesadaran yang terbentuk dengan sistem saraf peraba dan objek yang menyentuh dikenal sebagai kesadaran peraba. Kesadaran yang terbentuk dengan pikiran dan objek mental dikenal sebagai kesadaran mental. Bagaikan api yang membakar lilin dikenal sebagai api lilin, api yang membakar kayu dikenal sebagai api kayu, api yang membakar arang dikenal sebagai api arang, dan seterusnya. Dan keberadaan api tersebut tergantung pada sumber pendukungnya, yakni api lilin tergantung pada lilin (bila lilin habis, api juga ikut habis), api kayu tergantung pada kayu, dan seterusnya. Begitu pula kesadaran tergantung pada sumber pendukungnya. Kesadaran penglihatan tergantung pada mata dan objek visual, kesadaran pendengaran tergantung pada telinga dan suara, dst. Terdapat juga kesadaran penghubung antar satu kehidupan dengan kehidupan lain. Kesadaran ini—seperti layaknya kesadaran di atas—juga tergantung pada sumber pendukungnya. Kesadaran penghubung kehidupan ini akan dijelaskan di bawah.


Pencerapan ini (contact) terkondisi oleh indera, objek indera, dan kesadaran: dengan adanya mata, objek visual, dan kesadaran visual barulah ada proses penglihatan; dengan adanya telinga, suara, dan kesadaran pendengaran barulah ada proses pendengaran; dengan adanya hidung, aroma, dan kesadaran penciuman, barulah ada proses penciuman; dengan adanya organ pengecap, rasa, dan kesadaran pengecap barulah ada proses pengecap; dengan adanya sistem saraf peraba, objek yang menyentuh, dan kesadaran peraba barulah ada proses sentuhan; dengan adanya pikiran, objek mental, dan kesadaran mental barulah ada proses pemikiran. [Kesadaran diperlukan dalam proses pencerapan. Misalnya, kentut yang keras dan bau mungkin tidak dapat didengar ataupun dicium oleh orang yang sedang tidur nyenyak walau telinga dan hidungnya masih dalam kondisi yang sehat. Tetapi karena kesadaran pendengaran dan penciumannya sedang lemah sewaktu tidur, maka ia tidak dapat mendengar maupun menciumnya, kecuali bila memang kentut tersebut super nyaring bunyinya dan super pedas baunya.]


Perasaan ini terkondisi oleh pencerapan (contact): dengan adanya pencerapan barulah ada perasaan yang menyenangkan, perasaan yang tidak menyenangkan, dan perasaan yang netral. Misalnya, setelah mendengar lelucon yang lucu, timbul rasa senang. Rasa senang ini tergantung pada (muncul setelah) adanya contact (mendengar humor tersebut).


Pikiran ini terkondisi oleh objek mental: dengan adanya objek mental yang rumit maka pikiran menjadi rumit; dengan adanya objek mental yang menenangkan maka pikiran menjadi tenang, dst. Inilah alasannya mengapa Buddha menganjurkan para bhikkhu untuk hidup menyendiri jauh dari keramaian dan keributan, jauh dari permasalahan duniawi [MN 03, AN 8.30]. Karena di tempat yang sepi dan sunyi lah pikiran akan cenderung menjadi tenang.


Ringkasnya, segala sesuatu yang terkondisi adalah tidak memuaskan. Dan segala yang tidak memuaskan tidak pantas dianggap sebagai “aku”, “saya”, “milikku” atau “punyaku.”


Pengertian mulia menghentikan segala ketidakpuasan


Apabila seseorang menganggap ini adalah “aku”, “saya”, “milikku” atau “punyaku,” maka ia akan terobsesi olehnya. Dengan obsesi ini, maka munculah keinginan untuk ini dan itu (pokoknya banyak deh keinginannya!). Keinginan “ini dan itu” lah yang akan terus mendorongnya untuk tetap dilahirkan kembali ke alam kehidupan. Setelah dilahirkan, maka suatu hari ia pasti akan sakit, tua, dan mati. Bila dilahirkan di alam yang tinggi (dewa atau brahma), suatu saat ia juga akan jatuh kembali ke alam yang lebih rendah, dan seterusnya. Kesadaran yang menghubungkan kehidupan lampau dengan kehidupan ini dikenal sebagai kesadaran penghubung. Dan sumber penyokong dari kesadaran penghubung ini adalah ketidakpahaman terhadap segala hal yang terkondisi. Tetapi dengan munculnya pengertian mulia tentang ketidakpuasan dari segala hal yang terkondisi ini, maka kegiuran lenyap. Dengan lenyapnya kegiuran, keterikatan lenyap. Dengan lenyapnya keterikatan, keinginan untuk “ini itu” lenyap. Dengan lenyapnya keinginan “ini itu” maka kesadaran penghubung tersebut sudah tidak disokong lagi—padam bagaikan api lilin yang padam setelah habisnya lilin yang dahulu menyokongnya [MN 38].

Sabtu, 18 Februari 2012

Kitab-Kitab Suci Agama Khong Hu Cu

Kitab-Kitab Suci Agama Khong Hu Cu

Kitab Suci Agama Khonghucu atau Ji Kau, pada mulanya merupakan kumpulan kitab yang terdiri dari 13 kitab, sehingga disebut SIP SHA KING / Shi San Jing / Tiga Belas Untaian Kitab. Terdiri dari :
1. Ya King / Yi Jing / I Ching ( Kitab Perubahan )
2. Su King / Shu Jing ( Kitab Hikayat )
3. Sie King / Shi Jing ( Kitab Sanjak )
4. Ciu Lee / Zhou Li ( Kitab Kesusilaan )
5. Gie Lee / Yi Li ( Kitab Kesusilaan & Peribadahan )
atau disebut juga Lee Ko King / Li Gu Jing ( Kitab Adat Istiadat Kuno )
6. Lee Ki / Li Ji ( Catatan Kesusilaan )
7. Chun Chiu Co Twan / Chun Qiu Zuo Zhuan
( Tafsir Kitab Chun Chiu oleh Zuo Qiu Ming )
8. Chun Chiu Kong Yang Twan / Chun Qiu Gong Yang Zhuan
( Tafsir Kitab Chun Chiu oleh Gong Yang Gau )
9. Chun Chiu Kok Liang Twan / Chun Qiu Gu Liang Zhuan
( Tafsir Kitab Chun Chiu oleh Gu Liang Chi )
10. Lun Gi / Lun Yu ( Kitab Sabda Suci )
11. Hauw King / Xiau Jing ( Kitab Bhakti )
12. Ji Nge / Er Ya ( Kitab Logat )
13. Bingcu / Meng Zi ( Kitab Bingcu )

Kemudian Cu Hi / Zhu Xi (1130 – 1200 M ) – seorang tokoh Dinasti Song – memilahnya menjadi :
A. NGO KING / WU JING / LIMA UNTAIAN / HIMPUNAN KITAB
Adalah Kitab-Kitab Suci yang berasal dari para Nabi Purba dan Raja Suci, merupakan Kitab-Kitab Suci yang mendasari Agama Khonghucu.
Ngo King ini dihimpun, diedit, dibakukan, disusun, dan terbukukan oleh Nabi Khongcu.
Terdiri dari :
1. SIE KING / SHI JING / KITAB SAJAK
Disebut pula Pa King / Pa Jing / Kitab Kuncup Bunga
Didalamnya kita dapati bagaimana iman terhadap Thian / Tuhan diagungkan.
Terdiri dari 39.222 huruf.
Dirintis oleh Ki Tan atau Ciu Kong Tan.
Sajak-sajaknya adalah: Hong ( Nyanyian Rakyat ), Hut ( Cerita ), Pi ( Perumpamaan ), Hien ( Sindiran / Sanjungan ), Nge ( Pujian ), Siong ( Pemujaan / Puja ).
Nabi Khongcu menghimpun 3000-an sajak, tetapi hanya 311 buah sajak saja yang diambil. Kini hanya tinggal 305 buah sanjak, karena 6 buah sajak ( no. 171, 172, 173, 174, 206, 209 ) telah hilang.
Sajak yang tertua dari Dinasti Siang 1766-1122 SM, yang termuda dari jaman Raja Muda Ciu Ting Ong ( 605-586 SM).
Sie King dibagi menjadi 4 Bab, yakni :
- Kok Hong / Guo Feng / Nyanyian Rakyat atau Adat Istiadat
15 Buku 160 Sajak
- Siu Nge / Xiau Ya / Pujian Kecil, pengiring upacara di istana.
8 Buku 80 Sajak
- Tai Nge / Da Ya / Pujian Besar kepada Nabi Ki Chiang / Bun Ong
3 Buku 31 Sajak
- Siong / Song untuk mengiringi upacara peribadahan
3 Buku 40 Sajak


Setelah terjadi pembakaran Kitab-Kitab oleh Chien Sie Ong / Chin Shi Huang, para cedekia di Jaman Dinasti Han mengumpulkan sajak-sajak yang tercecer. Ada beberapa macam Kitab Sajak yang berhasil dihimpun oleh mereka. Yaitu:
1. Lo Sie / Lu Shi, Sie King dari Negeri Lo.
Susunan Sien Pwee atau Sien Kong / Shen Gong pada Jaman Han Bu Tee ( 140-87 SM ). Sien Pwee memperolehnya dari Hau Kiu Poo ( Negeri Cee ), guru Khong An Kok / Kong An Guo, keturunan Nabi Khongcu, tokoh aliran kuno.
2. Cee Sie / Qi Shi, Sie King dari Negeri Cee.
Susunan Wan Gong / Yan Gong, pada jaman Han King Tee ( 156-141 SM ), hidup sampai jaman Han Bu Tee dalam usia lebih dari 90 tahun. Murid terkenal Heho Sicong.
3. Han Sie / Han Shi, Sie King dari Negeri Han.
Disusun oleh Han Ing / Han Ying, orang Negeri Yan pada jaman Han Bu Tee ( 179-157 SM ).
4. Mo Sie / Mau Shi, Sie King orang Negeri Mo.
Disusun oleh Mo Hing / Mau Heng, orang negeri Lo.
Dilanjutkan oleh Mo Tiang / Mau Chang.
Inilah Sie King yang terkenal sampai sekarang. Disamping lestari, juga dipercaya keasliannya.
Sam Jie King Cu Kai Pwee Yau – Kitab Tiga Huruf – menyebut versi ini :
Khongcu ® Cu Kong ® Lo Sien ® Kwie Khok ® Bing Tiongcu ® Khien Locu ® Sun Khing / Suncu ® orang Dinasti Han ® Mo Hing & Mo Tiang.

2. SU KING / Shu Jing / Kitab Hikayat
Merupakan kitab dokumentasi sejarah suci.
Disebut juga Sio Si / Shang Shu / Kitab Mulia dan Cai King / Zai Jing / Kitab Tarikh / Buku Jaman dan Piet King / Bi Jing / Kitab Tembok.
Disebut Kitab Tembok karena berhasil dilestarikan oleh karena adanya penemuan kitab ini di dalam dinding rumah keluarga Nabi Khongcu. Dan Khong An Kok adalah keturunan Nabi Khongcu yang pada waktu itu mendapat perintah dari Raja Han Bu Tee untuk mengkonsolidasikannya.
Kitab ini disusun oleh Nabi Khongcu dari Jaman Tong Giau (2357 – 2255 SM ) sampai Raja Muda Chien Bok Kong pada jaman Raja Ciu Siang Ong ( 651 – 618 SM ).
Bagaimana Nabi Khongcu membukukannya, tersurat di dalam Tiong Yong XXVII dan Lun Gi II:9.
Su King terdiri dari 25.700 huruf, tersisa 58 Bab.
Terdiri dari 4 Buku 6 Jilid, yaitu :
1. Gi su, 5 Bab, Hikayat Tong Giau ( 2357 – 2255 SM ) & Gi Sun ( 2255 – 2205 SM ) Didalamnya terdapat Giau Tian ( perundangan Baginda Giau ) dan Sun Tian ( perundangan Baginda Sun ).
2. He Su, 4 Bab, Naskah-Naskah Dinasti He ( 2205 – 1766 SM ).
3. Siang Su, 17 Bab, Naskah-Naskah Dinasti Siang ( 1766 – 1122 SM ).
4. Ciu Su; A, B, C; 32 Bab, Naskah-Naskah Dinasti Ciu ( 1122-255 SM ).

3. YA KING / Yi Jing / I Ching / Kitab Perubahan.
Nama lainnya adalah Kitab Hie King / Yi Jing / Kitab Tanda-Tanda atau Simbol. Terdiri dari 24.707 huruf.
Merupakan Kitab Super yang universal. Banyak hal tersembunyi dalam tanda-tanda dan simbolnya yang ajaib dan gaib.
Dalam sejarahnya, Kitab ini paling utuh, bahkan Chien Sie Ong pun tidak mengganggu.
Kitab ini tentang Tuhan, Bu Kik, Tay Kik, Im Yang, Pat Kwa yang dimulai dari Nabi Purba Hok Hie.
Dalam bentuk awal, ini sama dengan diagram Pat Kwa, yang terdiri dari trigram kombinasi -- dan - - yang merupakan 8 trigam, dimana bila didrive menjadi 64 hexagram.
Ini disempurnakan dengan memberi teks pada :
- Tiap Kwa yang disebut : Thwan oleh Bun Ong.
- Tiap Ngau yang disebut : Ciang oleh Ciu Kong.
Kitab Ya King ini digenapkan dalam tafsir pengertian / penjabaran dan penjelasan / uraian yang disebut : Sip Ik / Shi Yi oleh Nabi Khongcu.

4. LEE KING / Li Jing / Kitab Kesusilaan.Juga disebut dengan Tay King / Dai Jing / kumpulan orang Marga Tay.
Terdiri dari 99.020 huruf.
Sebenarnya oleh Nabi Khongcu dipilih menjadi 3 bagian, yaitu :
· CIU LEE / Zhou Li / Kitab Kesusilaan Dinasti Ciu.
Merupakan susunan Nabi Ciu Kong Tan.
Di dalamnya terdapat uraian tentang Liok Kwan / Liu Guan / Enam Departemen, yang merupakan Aturan Tata Negara Dinasti Ciu.
Pada jaman Kerajaan Han, disebut juga sebagai Ciu Kwan / Zhou Guan yang sebelumnya dikenal sebagai Ciu Kwan Lee / Zhou Guan Lie.

· GI LEE / Yi Li / Kitab Kesusilaan dan Peribadahan.
Merupakan Kitab Adat Istiadat, disusun oleh Ciu Kong Tan.
Berisi tata agama dan tata laksana peribadahan Dinasti Ciu.
Yaitu tentang pembaliqan, perkawinan, perkabungan & persembahan, upacara perjamuan, dan sebagainya.
Kitab ini dipakai oleh Nabi Khongcu sebagai referensi acuan dalam Kesusilaan.
Dinamai pula Lee Ko King / Li Gu Jing / Kitab Kesusilaan Kuno.

· LEE KI / Li Ji / Catatan Kesusilaan.
Himpunan tulisan yang mengandung nilai moral dan agamis yang berdasarkan agama Ji. Sekaligus uraian dan tafsir atas 2 Kitab terdahulu.
Mula-mula merupakan sisa-sisa himpunan yang berasal dari Nabi Khongcu dan murid-murid langsung, yang oleh Hoo Cong ( Dinasti Han ) dikumpulkan menjadi 214 Bab / Tulisan / Buku. Lalu, atas pemeriksaan Murid Hoo Cong bernama Tay Tik / Dai De, disingkirkan yang diragukan, yang tidak / bukan berasal dari Ajaran Nabi Khongcu, sehingga tinggal 85 Bab. Disebut dengan Tay Tik Thie / Dai De Ti atau Tai Tay Lee / Da Dai Li.
Oleh keponakan Tay Tik-yakni: Tay Sing / Dai Sheng-diseleksi lebih lanjut, sehingga tinggal 46 Bab. Disebut dengan Sia Tay Lee / Xiao Dai Li.
Dan Tokoh-Tokoh Khonghucu Dinasti Han menambah 3 Bab, yaitu Bing Tong / Ruang Gemilang ( no.14 ), Gwat Ling / Pedoman yang menyangkut Almanak ( no.6 ) dan Gak Kie / Catatan Musik ( no.19 ), sehingga jumlahnya ini menjadi 49 Bab.
Kitab Thai Hak dan Tiong Yong, juga terdapat dalam Lee Ki Bab 42 dan 31.

5. CHUN CHIU KING / Chun Qiu Jing / Kitab Chun Ciu.Disebut juga dengan nama LIEN KING / Lin Jing / Kitab Kilin, karena Nabi Khongcu mengakhiri tulisan dengan peristiwa terbunuhnya Sang Kilin.
Terdiri dari 18.000 huruf.
Ditulis murni dan langsung oleh Nabi Khongcu.
Merupakan risalah dan kronik, suatu pengadilan jaman.
Ini adalah thesis Nabi Khongcu ( Lihat : Bingcu III B:8, IVB:21, VIIB:2 ).
* Jaman Chun Ciu ( 722 – 481 SM )
Adalah jaman melemahnya Dinasti Ciu ( 1122 – 248 SM ), dengan raja seperti:
Ø Ciu Lee Ong ( 878 – 827 SM ), yang tolol dan semena-mena.
Ø Ciu Yu Ong ( 781 – 770 SM ), yang lemah dan suka hura-hura.
Dimana, hanya karena ingin melihat selirnya bernama Pau Su tertawa, maka hancurlah ibu kota diserang musuh.
Ø Ciu Ping Ong ( 770 – 719 SM ) memindahkan ibu kota yang hancur ke timur ( Lok Yang ), disebut Tang Ciu / Dong Zhou / Ciu Timur.
Ciu Ping Ong mejadi raja yang gila hormat dan akhirnya cuma jadi raja boneka.
Jadilah Jaman Kalut / Chun Chiu. Kekuasaan jatuh ke tangan para raja muda pemimpin ( Pa ) yang akhirnya mengangkat diri menjadi raja ( Ong ). ( Setelah jaman ini, dikenal Jaman Cian Kok / Zhan Guo / Jaman Peperangan ( 403 - 321 SM ) dengan Chien Sie Ong sebagai pemenangnya; mendirikan Dinasti Chien ).

* Ada 3 Kitab Tafsir yang terkenal menjadi pelengkap atas Kitab Chun Ciu ini, yaitu:
1. CHUN CHIU CO TWAN oleh Co Kiu Bing / Zo Qiu Ming.
Beliau adalah sahabat sekaligus “murid” Nabi Khongcu, orang Negeri Lo. Tafsir ini paling cocok dan uraiannya sama dengan Kok Gi / Guo Yi. Sering dijadikan satu dengan Chun Ciu King karena paling dekat.
2. CHUN CHIU KONG YANG TWAN oleh Kong Yang Ko / Gong Yang Gau, orang Negeri Lo, pada akhir Dinasti Ciu, Jaman Cian Kok. Murid perguruan Cu He.
3. CHUN CHIU KOK LIANG TWAN oleh Kok Liang Chik / Gu Liang Chi, orang Jaman Awal Dinasti Han. Juga murid perguruan Cu He.

B. SU SI / Shi Su / Empat Buku.
Adalah Kitab Suci yang langsung bersumber pada Nabi Khongcu hingga Bingcu. Merupakan Kitab Suci yang pokok dalam Ji Kau.
Kitab Suci ini terhimpun dan terbukukan dari Nabi Khongcu oleh para penerusnya. Terdiri dari :

1. KITAB THAI HAK / Da Xue / Kitab Ajaran Besar.
Ditulis oleh Cingcu / Zheng Zi atau Cham / Can alias Cu I / Zi Xing, murid Nabi Khongcu dari angkatan muda.
Terdiri dari 1 Bab utama 10 Bab uraian, 1753 huruf + 134 / V.
Merupakan Kitab Tuntunan Pembinaan Diri.
Dan yang tersurat pada Bab Utama adalah ayat langsung dari Nabi Khongcu sendiri.

2. KITAB TIONG YONG / Zhong Yong / Kitab Tengah Sempurna.
Ditulis oleh Cu Su / Zi Si alias Khong Khiep, cucu Nabi Khongcu.
Terdiri dari satu Bab utama 32 Bab uraian, 3.568 huruf.
Merupakan Kitab Keimanan bagi Umat Ji.
Dan yang tersurat pada Bab Utama adalah ayat langsung dari Nabi Khongcu sendiri.

3. KITAB LUN GI / Lun Yu / Kitab Sabda Suci.
Merupakan kumpulan tulisan percakapan dan diskusi, terutama antara Cingcu dengan Yucu.
Terdiri dari A dan B, masing-masing 10 Bab, sama dengan 20 Bab, 15.917 huruf.
Seluruh aspek tentang Nabi Khongcu dan Ajarannya, selaku Bok Tok / Genta Rohani kita dapati dalam Kitab ini.

4. KITAB BINGCU / Meng Zi / Kitab Bingcu.
Sebagian ditulis Bingcu sendiri, sebagian merupakan catatan Ban Ciang / Wan Zhang dan Khongsun Thio / Gong Sunchou, murid-muridnya.
Terdiri dari 7 Bab, masing-masing A dan B, 35.377 huruf.
Adalah kumpulan tulisan yang mencatat percakapan Bingcu dangan para raja-raja jaman itu, tokoh-tokoh berbagai aliran dan murid-muridnya.
Merupakan penegasan Bingcu dalam menegakkan Kemurnian Ajaran Agama Khonghucu.
Selain Kitab Ngo King dan Su Si, ada 1 kitab lagi yang tidak boleh tidak dipentingkan. Dahulu kitab ini menjadi satu rangkaian di dalam Sip Sha King, yaitu:

HAUW KING / Xiao Jing / Kitab Bakti.
Ditulis oleh Cingcu, murid Nabi Khongcu.
Terdiri dari 18 Bab.
Berisi percakapna Nabi Khongcu dengan Cingcu.
Merupakan Ajaran tentang Berbakti dan Memuliakan Hubungan.

Jaman dahulu, seorang murid wajib memulai pendidikan dengan belajar Hauw King, baru kemudian belajar Su Si dan terakhir Liok King / Liu Jing / Enam Untaian / Himpunan Kitab ( atau yang dikenal sebagai Ngo King, karena Kitab Musik / Gak King telah hilang ).



Tersurat di dalam Ya King, “Bila hati gundah-gulana pergi-datang, hanya kawan (sejati) menyertaimu berfikir.” Nabi bersabda,”Akan isi bawah langit ini, apa yang harus difikirkan? Apa yang harus diresahkan? Isi bawah langit ini semua pulang kepada yang sama meski berbeda jalan ditempuh; hanya satu tujuan meski ada beratus pemikiran. Apakah yang harus dipikirkan? Apakah yang harus diresahkan?” (He Su / Babaran Agung B, Bab V/31)

Ya King menjelaskan sebab musabab kesedihan dan derita.
Biar orang tidak punya guru pelindung,
Ya King beserta bagai ayah dan bunda.
(He Su / Babaran Agung B, Bab III / 55)

Dahulu, Nabi membukukan Ya King oleh bantuan rahasia Cahaya Sang Maha Roh (Sien Bing) yang telah menciptakan peraturan-peraturan penggunaan rumput Si (achillea sibirica). (Swat Kwa / Pembahasan Diagram Bab I /1 )

Nabi membukukan Ya King dengan mematuhi pola hukum yang merupakan perwujudan Watak Sejati dan Firman.
Demikianlah maka menegakkan Jalan Suci Tuhan Yang Maha Esa, yang dinamai Im dan Yang; menegakkan Jalan Suci Bumi yang dinamai Lemah dan Kuat (Jiu dan Kong); dan menegakkan Jalan Suci Manusia yang dinamai Cinta Kasih dan Kebenaran (Jien dan Gie). (Pembahasan I : 4)

sumber : Makin

Sejarah Kong Hu Cu

SEJARAH KONG HU CU

Lahir sekitar tahun 551 SM di kota kecil Lu, kini masuk wilayah propinsi Shantung di timur laut daratan Cina. Dalam usia muda ditinggal mati ayah, membuatnya hidup sengsara di samping ibunya.

Waktu berangkat dewasa dia jadi pegawai negeri kelas teri tapi sesudah selang beberapa tahun dia memutuskan mendingan copot diri saja. Sepanjang enam belas tahun berikutnya Kong Hu-Cu jadi guru, sedikit demi sedikit mencari pengaruh dan pengikut anutan filosofinya. Menginjak umur lima puluh tahun bintangnya mulai bersinar karena dia dapat kedudukan tinggi di pemerintahan kota Lu.

Sang nasib baik rupanya tidak selamanya ramah karena orang-orang yang dengki dengan ulah ini dan ulah itu menyeretnya ke pengadilan sehingga bukan saja berhasil mencopotnya dari kursi jabatan tapi juga membuatnya meninggalkan kota. Tak kurang dari tiga belas tahun lamanya Kong Hu-Cu berkelana ke mana kaki melangkah, jadi guru keliling, baru pulang kerumah asal lima tahun sebelum wafatnya tahun 479 SM.

Kong Hu-Cu kerap dianggap selaku pendiri sebuah agama; anggapan ini tentu saja meleset. Dia jarang sekali mengkaitkan ajarannya dengan keTuhanan, menolak perbincangan alam akhirat, dan mengelak tegas setiap omongan yang berhubungan dengan soal-soal metaflsika. Dia -tak lebih dan tak kurang- seorang filosof sekuler, cuma berurusan dengan masalah-masalah moral politik dan pribadi serta tingkah laku akhlak.

Ada dua nilai yang teramat penting, kata Kong Hu-Cu, yaitu “Yen” dan “Li:” “Yen” sering diterjemahkan dengan kata “Cinta,” tapi sebetulnya lebih kena diartikan “Keramah-tamahan dalam hubungan dengan seseorang.” “Li” dilukiskan sebagai gabungan antara tingkah laku, ibadah, adat kebiasaan, tatakrama dan sopan santun.

Pemujaan terhadap leluhur, dasar bin dasarnya kepercayaan orang Cina bahkan sebelum lahirnya Kong Hu-Cu, lebih diteguhkan lagi dengan titik berat kesetiaan kepada sanak keluarga dan penghormatan terhadap orang tua. Ajaran Kong Hu-Cu juga menggaris bawahi arti penting kemestian seorang istri menaruh hormat dan taat kepada suami serta kemestian serupa dari seorang warga kepada pemerintahannya. Ini agak berbeda dengan cerita-cerita rakyat Cina yang senantiasa menentang tiap bentuk tirani. Kong Hu-Cu yakin, adanya negara itu tak lain untuk melayani kepentingan rakyat, bukan terputar balik. Tak jemu-jemunya Kong Hu-Cu menekankan bahwa penguasa mesti memerintah pertama-tama berlandaskan beri contoh teladan yang moralis dan bukannya lewat main keras dan kemplang. Dan salah satu hukum ajarannya sedikit mirip dengan “Golden Rule” nya Nasrani yang berbunyi “Apa yang kamu tidak suka orang lain berbuat terhadap dirimu, jangan lakukan.”

Pokok pandangan utama Kong Hu-Cu dasarnya teramat konservatif. Menurut hematnya, jaman keemasan sudah lampau, dan dia menghimbau baik penguasa maupun rakyat supaya kembali asal, berpegang pada ukuran moral yang genah, tidak ngelantur. Kenyataan yang ada bukanlah perkara yang mudah dihadapi. Keinginan Kong Hu-Cu agar cara memerintah bukan main bentak, melainkan lewat tunjukkan suri teladan yang baik tidak begitu lancar pada awal-awal jamannya. Karena itu, Kong Hu-Cu lebih mendekati seorang pembaharu, seorang inovator ketimbang apa yang sesungguhnya jadi idamannya.

Kong Hu-Cu hidup di jaman dinasti Chou, masa menyuburnya kehidupan intelektual di Cina, sedangkan penguasa saat itu tidak menggubris sama sekali petuah-petuahnya. Baru sesudah dia wafatlah ajaran-ajarannya menyebar luas ke seluruh pojok Cina.

Berbetulan dengan munculnya dinasti Ch’in tahun 221 SM, mengalami masa yang amat suram. Kaisar Shih Huang Ti, kaisar pertama dinasti Ch’ing bertekat bulat membabat habis penganut Kong Hu-Cu dan memenggal mata rantai yang menghubungi masa lampau. Dikeluarkannya perintah harian menggencet lumat ajaran-ajaran Kong Hu-Cu dan menggerakkan baik spion maupun tukang pukul dan pengacau profesional untuk melakukan penggeledahan besar-besaran, merampas semua buku yang memuat ajaran Kong Hu-Cu dan dicemplungkan ke dalam api unggun sampai hancur jadi abu. Kebejatan berencana ini rupanya tidak juga mempan. Tatkala dinasti Ch’ing mendekati saat ambruknya, penganut-penganut Kong Hu-Cu bangkit kembali bara semangatnya dan mengobarkan lagi doktrin Kong Hu-Cu. Di masa dinasti berikutnya (dinasti Han tahun 206 SM - 220 M). Confucianisme menjadi filsafat resmi negara Cina.

Mulai dari masa dinasti Han, kaisar-kaisar Cina setingkat demi setingkat mengembangkan sistem seleksi bagi mereka yang ingin jadi pegawai negeri dengan jalan menempuh ujian agar yang jadi pegawai negeri jangan orang serampangan melainkan punya standar kualitas baik ketrampilan maupun moralnya. Lama-lama seleksi makin terarah dan berbobot: mencantumkan mata ujian filosofi dasar Kong Hu-Cu. Berhubung jadi pegawal negeri itu merupakan jenjang tangga menuju kesejahteraan material dan keterangkatan status sosial, harap dimaklumi apabila di antara para peminat terjadi pertarungan sengit berebut tempat. Akibat berikutnya, ber generasi-generasi pentolan-pentolan intelektual Cina dalam jumlah besar-besaran menekuni sampai mata berkunang-kunang khazanah tulisan-tulisan klasik Khong Hu-Cu. Dan, selama berabad-abad seluruh pegawai negeri Cina terdiri dari orang-orang pandangannya berpijak pada filosofi Kong Hu-Cu. Sistem ini (dengan hanya sedikit selingan) berlangsung hampir selama dua ribu tahun, mulai tahun 100 SM sampai 1900 M.

Tapi, Confucianisme bukanlah semata filsafat resmi pemerintahan Cina, tapi juga diterima dan dihayati oleh sebagian terbesar orang Cina, berpengaruh sampai ke dasar-dasar kalbu mereka, menjadi pandu arah berfikir selama jangka waktu lebih dari dua ribu tahun.

Ada beberapa sebab mengapa Confucianisme punya pengaruh yang begitu dahsyat pada orang Cina. Pertama, kejujuran dan kepolosan Kong Hu-Cu tak perlu diragukan lagi. Kedua, dia seorang yang moderat dan praktis serta tak minta keliwat banyak hal-hal yang memang tak sanggup dilaksanakan orang. Jika Kong Hu-Cu kepingin seseorang jadi terhormat, orang itu tidak usah bersusah payah menjadi orang suci terlebih dahulu. Dalam hal ini, seperti dalam hal ajaran-ajarannya yang lain, dia mencerminkan dan sekaligus menterjemahkan watak praktis orang Cina. Segi inilah kemungkinan yang menjadi faktor terpokok kesuksesan ajaran-ajaran Kong Hu-Cu. Kong Hu-Cu tidaklah meminta keliwat banyak. Misalnya dia tidak minta orang Cina menukar dasar-dasar kepercayaan lamanya. Malah kebalikannya, Kong Hu-Cu ikut menunjang dengan bahasa yang jelas bersih agar mereka tidak perlu beringsut. Tampaknya, tidak ada seorang filosof mana pun di dunia yang begitu dekat bersentuhan dalam hal pandangan-pandangan yang mendasar dengan penduduk seperti halnya Kong Hu-Cu.

Confucianisme yang menekankan rangkaian kewajiban-kewajiban yang ditujukan kepada pribadi-pribadi ketimbang menonjolkan hak-haknya -rasanya sukar dicerna dan kurang menarik bagi ukuran dunia Barat. Sebagai filosofi kenegaraan tampak luar biasa efektif. Diukur dari sudut kemampuan memelihara kerukunan dan kesejahteraan dalam negeri Cina dalam jangka waktu tak kurang dari dua ribu tahun, jelaslah dapat disejajarkan dengan bentuk-bentuk pemerintahan terbaik di dunia.

Gagasan filosofi Kong Hu-Cu yang berakar dari kultur Cina, tidaklah berpengaruh banyak di luar wilayah Asia Timur. Di Korea dan Jepang memang kentara pengaruhnya dan ini disebabkan kedua negeri itu memang sangat dipengaruhi oleh kultur Cina.

Saat ini Confucianisme berada dalam keadaan guram di Cina. Masalahnya, pemerintah Komunis berusaha sekuat tenaga agar kaitan alam pikiran penduduk dengan masa lampau terputus samasekali. Dengan gigih dan sistematik Confucianisme digempur habis sehingga besar kemungkinan suatu saat yang tidak begitu jauh Confucianisme lenyap dari bumi Cina. Tapi karena di masa lampau, akar tunggang Confilcianisme begitu dalam menghunjam di bumi Cina, bukan mustahil -entah seratus atau seratus lima puluh lahun yang akan datang - beberapa filosof Cina sanggup mengawinkan dua gagasan besar: Confucianisme dan ajaran ajaran Mao Tse-Tung.

Mengenal Lao Tzu Dan Tao Te Ching

Mengenal Lao Tzu Dan Tao Te Ching




"Perjalanan seribu Li dimulai dari satu langkah kecil. "
( Tao Te Cing, Bab 64,5).
Ungkapan di atas dikutip dari kitab Tao Te Ching karya Lao Tzu atau Lao Zi. Ungkapan yang sangat sederhana tetapi menjadi sangat terkenal dan sering dijadikan pendorong semangat dalam setiap usaha atau kegiatan pada kehidupan manusia saat ini.

Lao Tzu hidup pada rentang masa 604-531 SM. Ia dilahirkan di negara Ch'u yang terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan Provinsi Hunan. Ia bernama asli Li Erh dengan gelar Dewata, Lau C'un, Th'ai Shang Lau C'un, atau Th'ai Shang Hsuan Yuan Huang Ti. Nama keluarganya Li, dan nama panggilannya Erh. Nama Lao Tzu secara hurufiah mengandung pengertian 'empu tua.' Menurut sejarawan Tiongkok, Suma Xian (Shu Xian) yang menulis sekitar tahun 100 SM, Lao Tzu berasal dari desa Ch'u-jen, Provinsi Hunan, dan hidup sekitar abad ke-6 SM, di Ibukota Loyang negara Ch'u. Lao Tzu hidup pada era Ciu dan hampir satu era dengan Confucius dan Buddha Gautama. Pada masa pemerintahan Dinasti Chou (1111-255 SM), Lao Tzu sempat diangkat sebagai seorang ahli perpustakaan (Shih). Sebagai seorang ahli perpustakaan, ia juga dikenal sebagai seorang yang ahli dalam bidang perbintangan dan peramalan, yang juga menguasai berbagai kitab kuno.

Sedikit sekali catatan yang dapat ditemukan mengenai kehidupan Lao Tzu. Karya besarnya adalah sebuah kitab yang memakai namanya sebagai judul, yakni Lao Tzu yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Tao Te Ching (kitab klasik mengenai jalan dan daya). Kitab ini dipandang sebagai karya kefilsafatan pertama dalam sejarah China. Dalam berbagai perubahan kebudayaan di China, Lao Tzu tidak pernah hilang. Bagi para Confucianis, Lao Tzu dipandang sebagai seorang filsuf yang agung, dan bagi kebanyakan orang, ia adalah seorang dewa atau orang suci. Sedangkan bagi para Taois, ia merupakan pancaran dari Tao dan sesuatu yang merupakan keilahian agung mereka.

Legenda Kehidupannya
Banyak sekali versi yang mengisahkan tentang kelahiran Lao Tzu, salah satunya dipengaruhi oleh cerita tentang kelahiran Sang Buddha. Dikisahkan bahwa ibunda Lao Tzu mengandung selama 72 tahun, dan ia dilahirkan melalui ketiak kirinya. Menurut legenda ini, ia telah berulang kali turun dari langit dalam berbagai wujud manusia sepanjang sejarah untuk menurunkan ajaran Taoisme kepada para kepala negara. Legenda lainnya dari keluarga Li mengisahkan, bahwa bayi tersebut terlahir bersinar di bawah kaki pohon plum ('Li') sehingga diputuskan bahwa 'Li' adalah nama keluarganya. Legenda ini berkembang dari cerita perjalanan Lao Tzu ke Barat (India). Bahkan legenda ini mempercayai bahwa Sang Buddha merupakan perwujudan Lao Tzu juga.

Suma Xian melakukan penelitian mendalam dengan menemui beberapa orang yang pernah bertemu Lao Tzu, seperti Lau-Lai-Tzu, seorang Taois pengikut Confucius dan seorang ahli perbintangan bernama Tan. Hasilnya adalah bahwa kemungkinan Lao Tzu telah hidup 150 tahun, malahan ada yang mengatakan lebih dari 200 tahun. Perlu diketahui bahwa menurut kepercayaan kuno, seorang Guru Agung dapat hidup kekal. Kepercayaan ini kemungkinan lebih berkembang pada tradisi sebelum Chuang Zi, seorang Guru Agung Taois yang hidup sekitar abad ke-4, karena dalam karya-karya Chuang Zi, walaupun ia menyinggung hal-hal yang berkaitan dengan kematian tetapi tanpa diberikan penekanan khusus terhadap bentuk kekekalan. Oleh karena itu menurut Suma Xian, Lao Tzu kemungkinan seorang pertapa yang tak meninggalkan jejak kehidupannya. Sebab pada kenyataannya dalam sepanjang sejarah China, selalu tercatat adanya para pertapa yang meninggalkan kehidupan duniawi.

"Tao Te Ching"
Ajaran Lao Tzu, lebih dikenal dengan sebutan Taoisme, yakni suatu paham spiritual yang lahir di Tiongkok dan telah mengalami berbagai perkembangan selama ribuan tahun. Taoisme dikembangkan oleh Lao Tzu dengan kitab utamanya yang disebut Tao Te Ching yakni kitab tentang Jalan Kebenaran. Kitab ini merupakan suatu buku spiritual singkat yang sangat rumit dan hanya terdiri dari 5.250 huruf. Penulisan Tao Te Ching sendiri menurut kisahnya berawal ketika pada usia tuanya Lao Tzu meninggalkan negara Chu dan hendak hidup bertapa. Dalam perjalanannya, ia dihentikan di pintu gerbang Hsien Ku oleh seorang penjaga yang bernama Yin Hsi, di perbatasan negara Chin. Yin Hsi mengenali Lao Tzu sebagai seorang Yang Suci, lalu ia memintanya untuk menuliskan kebijaksanaannya dalam suatu kitab. Lao Tzu menyanggupi dan selang tiga hari kemudian, ia berhasil menyelesaikannya.

Setelah menyelesaikan bukunya, menurut kisahnya Lao Tzu dengan menunggang seekor kerbau dan bernyanyi, ia meninggalkan kehidupan duniawi menuju ke arah Barat (India/ pegunungan Himalaya). Sejak saat itulah tidak pernah terdengar kabar lagi mengenai dirinya. Sedangkan Yin Hsi sendiri setelah membaca kitab tersebut, lalu menjalani kehidupan pertapaan dan mencapai dunia dewata sebagai seorang dewa. Menurut catatan sejarah dari Suma Xian, Yin Hsi juga menulis sebuah buku yang berkaitan dengan metode meditasi Taois, dengan judul Kuan Yin Zi. Sesudah itu ia pun ikut merantau ke Barat (India/pegunungan Himalaya) dan kemudian tidak terdengar kabar beritanya lagi.

Ide ajaran dalam Tao Te Ching yang terkenal adalah mengenai wuwei (tanpa upaya disengaja). Wuwei mengandung pengertian membiarkan segala hal terjadi sesuai dengan apa adanya, alami, dan bukan dibuat-buat atau direncanakan. Doktrin 'wuwei' merupakan suatu bentuk pengolahan diri untuk mencapai kesunyian diri sejati, dan penyucian pikiran.

Konsep pemikiran maupun pandangan-pandangan Lao Tzu erat kaitannya tentang dunia dan alam semesta serta hubungannya dengan kehidupan manusia, pemerintahan, dan Yang Mahaesa (Tao). Tao terkesan tidak logis, dan memang Tao melampaui batas-batas logika. Sehingga untuk dapat memahami dan mengerti secara mendalam ajaran Lao Tzu yang sulit ini diperlukan usaha yang tekun dan perenungan yang mendalam secara intuisi. Kebanyakan orang mengidentikkan Taoisme sebagai sesuatu yang bersifat gaib dan mistik. Hal ini disebabkan pada zaman Hao Han, terdapat seorang pengikut Taoisme bernama Zhang Tao Ling yang bergelar Zhang Thien She menyebarkan ajaran Lao Tzu dengan menambahkan ilmu gaib dan mempraktikkan mistik.

Skeptisme Cendekiawan
Keberadaan legenda Lao Tzu sempat dipertanyakan oleh para cendekiawan, dengan alasan Tao Te Cing tidak mungkin ditulis oleh satu orang saja. Beberapa cendekiawan mengatakan bahwa Tao Te Cing kemungkinan berasal dari era Confucius, dan beberapa lainnya mengatakan kitab tersebut berasal dari sekitar abad ke-3 SM. Kesimpangsiuran ini menyebabkan beberapa cendekiawan yang menyatakan bahwa pengarang Tao Te Cing dilakukan oleh Tan, seorang ahli perbintangan.

Sementara berdasarkan biografi Suma Xian dari penelusuran garis keturunan Sang Guru Agung tersebut, berhasil mengaitkan kehidupan Lau Tan pada sekitar abad ke-4 SM. Akan tetapi hasil penelusuran garis keturunan tersebut tentunya agak sulit dipertimbangkan dari sudut sejarah. Ini hanya dapat membuktikan bahwa pada masa kehidupan Suma Xian, terdapat keluarga bermarga Li yang mengakui sebagai keturunan dari Guru Agung Lao Tzu. Hal ini tidak meletakkan suatu dasar yang kuat untuk memastikan keberadaan Lao Tzu.

Keraguan lain mengatakan bahwa nama Lao Tzu sendiri ada kemungkinan untuk menunjukkan gelar kehormatan terhadap Guru Agung Tao daripada nama pribadi seseorang. Dalam biografi Shih Chi dan sebagaimana sempat disinggung juga secara sekilas dalam beberapa kitab kuno lainnya, bahwa terdapat banyak riwayat para Guru Agung yang ditulis mulai dari abad ke-2 SM. Hal ini cukup menarik perhatian apabila dikaitkan dengan sejarah pembentukan Taoisme Agama (Tao Chiao). Selama Dinasti Han, Lao Tzu dianggap sebagai suatu figur mistik yang disembah oleh rakyat bahkan oleh raja sendiri. Perkembangan berikutnya, ia diangkat sebagai Lau Agung (Lau C'un), penjaga dan pewarta kitab kuno dan sang penyelamat umat manusia.

Namun demikian lepas dari berbagai kontroversi yang ada, patutlah disimak penghormatan Confusius pada Lao Tzu, seperti yang ditulis oleh Suma Xian, bagaimana Lao Tzu pada suatu hari bertemu dengan Confucius, yang dikritiknya sebagai seorang budiman yang menimbun kebajikan begitu rapat, seolah-olah kosong adanya. Sesudah pertemuan, Confucius berkata kepada murid-muridnya, "Saya tahu bagaimana burung terbang, bagaimana ikan berenang, bagaimana binatang darat berlari. Tetapi yang berlari, tetap saja bisa terperangkap, yang berenang bisa terjala, yang terbang bisa terpanah. Namun siapa yang tahu bagaimana seekor naga mengendarai angin melalui awan menuju surga? Hari ini saya bertemu Lao Tzu dan hanya dapat membandingkannya dengan seekor naga."




http://profiles.friendster.com/komunitastionghoa
http://www.forumtionghoaindonesia.myforumportal.com/forum/
http://asia.groups.yahoo.com/group/KOMUNITAS_TIONGHOA_INDONESIA/


tionghoaindonesia
MODERATOR
MODERATOR

Back to top Go down

Agama Tridharma: Buddha, Tao dan Konghucu -Sebuah Latar Belakang

I. Sejarah Singkat
a. Agama Buddha dan Ajarannya
Kira-kira 2520 tahun yang lalu di kota Kapilawastu, daerah Madyadesa India Utara (kini republik Nepal) Sidharta Gautama lahir. Nama Sidharta mempunyai arti “Yang terkabul cita-citanya.” Ayahnya adalah seorang raja dari dinasti Sakya, namanya Suddhodana dengan permaisurinya yang bernama Mahamaya. Kelahiran Sidharta diceritakan bukan dengan cara biasa, menurut kepercayaan agama Budha Mahamaya bermimpi ada seekor gajah putih bertaring 4 dan sebuah bintang bersudut 6 yang bersinar terang jatuh dari langit turun kedalam perutnya. Sayangnya tidak lama setelah kelahiran Sidharta, ibunya meninggal pada hari ke-7
Sejak berumur 7 tahun Sidharta suka bertapa salah satunya Jhana pertama. Hal itu membuat ayahnya khawatir dan memanggil para Brahmana. Para Brahmana mengatakan bahwa pangeran Sidharta akan meninggalkan kedudukannya sebagai putera mahkota dan menjadi seorang Budha.[3] Tanda-tanda ketika waktu itu tiba: pertama, dia melihat orang yang telah lanjut usia; kedua, dia akan melihat orang sakit; ketiga, dia akan melihat orang yang meninggal[4] Singkat cerita ramalan itu terbukti benar. Sidharta kemudian mencari jawaban atas kehidupan manusia.
Pada usia ke 35 tahun Sidharta mencapai penerangan sempurna di bawah Pohon Bodhi, Bodh-Gaya. Kemudian setelah mencapai kesempurnaan, dia mulai mengajarkan ajarannya untuk pertama kali di Isipathana dekat Benares kepada lima orang pertapa. Ajarannya pertama kali disebut Cattur Arya Sattyani (empat kesunyataan mulia) dan Hasta Arya Marga (delapan jalan utama).[5] Empat kesunyataan mulia diungkapkan sebagai berikut:[6]
1. Semua bentuk kehidupan adalah penderitaan (Dukkha).
2. Penderitaan disebabkan oleh nafsu atau keinginan yang rendah (Tanha).
3. Dengan lenyapnya Tanha lenyap pula Dukkha dan itulah Nirwana.
4. Cara atau jalan untuk melenyapkan Dukkha adalah delapan jalan utama.
Delapan jalan utama itu, adalah:[7]
1. Pengertian yang benar.
2. Pikiran yang benar.
3. Ucapan yang benar.
4. Perbuatan yang benar.
5. Mata pencaharian yang benar.
6. Daya upaya yang benar.
7. Perhatian yang benar.
8. Konsentrasi yang benar.
Menurut kepercayaan pengikut agama Buddha peristiwa ini dikenal sebagai hari suci Asadha. Di kemudian hari Sidharta memaparkan ajarannya sebagai Mahjima Pattipada atau jalan tengah. Jalan tengah mempunyai pengertian menghindari dua hal yang ekstrem yaitu: hidup dengan berfoya-foya dan bersenang-senang, memuaskan nafsu inderanya secara berlebihan, dan bersifat rendah Manfaat jalan tengah tersebut menurut pengikut Buddha: memberikan kedamaian, pengetahuan, penerangan, melenyapkan kebodohan, nafsu jahat dan serakah yang merupakan sumber dari penderitaan.[8]
b. Agama Tao dan Ajarannya
Pendiri agama Dao adalah Lao Tze. Sedangkan kitab sucinya Tao-Tse-Djing. Hingga kini tidak ada kesepakatan tentang sejarah kehidupan tokoh Lao-Tze. Salah satu acuan dalam riwayat hidup Lao Tze sendiri didapatkan dari tulisan sejarah Sma Tjhien (Sima Yin) pada abad pertama sebelum masehi.[9] Menurut sejarah yang disusun Sima Yin, Lao-Tse adalah orang dari desa Tjhii-ren, kecamatan Lai, kabupaten Khu, Negara Tjhuu. Nama pribadinya adalah Er, alias Tan dan nama keluarganya adalah Li. Ia menjabat pengurus arsip kerajaan Tjou.[10] Ada dua bagian dalam kitab Tao-Tse-Djing, yaitu Shang-sia-phien (Baca. Bagian pertama dan kedua). Ajarannya disebut Tao. Istilah Tao lazimnya berarti suatu jalan atau suatu cara bertindak.[11] Tao merupakan bahan dasar yang menyusun segala sesuatu. Tao bersifat sederhana tanpa bentuk tanpa upaya berpuas diri sepenuhnya. Tao sudah ada sebelum adanya langit dan bumi.[12] Dalam proses sejarah waktu manusia makin jauh dari keadaannya yang sempurna. Kitab Lao Tse yang dikenal sebagai kitab Tao-Tse-Djing juga mengajarkan Te. Istilah Te tidak dapat diidentikan dengan ‘kebajikan’ seperti yang digunakan oleh para penganut agama KongHuCu. Karena Lao Tze sendiri mengacu istilah Te untuk mengacu kepada sifat-sifat atau kebajikan yang alami, naluriah, asli, yang dilawankan dengan sifat-sifat atau kebajikan yang diberikan pekokoh sosial atau pendidikan.[13]
Asas dasar Taoisme: “Bahwa seharusnya manusia menyelaraskan diri dan tidak menentang hukum-hukum hakiki alam semesta.”[14] Segenap lembaga buatan atau segenap upaya adalah hal-hal yang salah. Bahwasanya segenap upaya adalah salah tidaklah berarti bahwa segenap kegiatan adalah salah, melainkan bahwa memaksakan diri mengusahakan sesuatu yang berada diluar jangkauan merupakan suatu kekeliruan.[15] Mereka yang memahami akan nasib tidak akan mengupayakan sesuatu yang berada diluar jangkauan pengetahuan[16] Maka yang hakiki ialah pandangan kedepan, pertimbangan serta pertimbangan secara bijak, mengenai mana yang dapat dikerjakan serta cocok, dan mana yang baik.[17] Selain kitab Tao-Tse-Tsing ada tulisan lain oleh tentang Taoisme.[18] Kitab itu disebut Chuang Tsu yang ditulis oleh Chuang Tsu. Kitab itu mengajarkan bahwa hidup ini nisbi. Nisbi ini berlaku dalam masalah kesusilaan. Kitab Chuang Tsu mengatakan:
Gerak langit dan bumi berjalan menurut tatanan yang mengagumkan, namun tidak pernah memperkatakannya. Keempat macam musim melihat adanya hukum-hukum yang jelas, namun tidak membicarakannya. Segenap alam diatur oleh asas-asas yang cermat, namun dia tidak pernah menerangkannya. Manusia bijaksana menembus rahasia tatanan langit dan bumi, dan memahami sepenuhnya asas-asas alam. Demikianlah manusia sempurna tidak berbuat apapun, dan manusia besar yang bijaksana tidak menimbulkan apapun. Artinya, mereka sekedar merenungi alam semesta.[19]
Maka, hal yang menjadi prinsip dasariah adalah Wu Wei (Jangan Berbuat Apapun). Hal ini merupakan perintah termashyur bagi penganut Taoisme. Hal ini tidak berarti manusia bersikap pasif. Namun diharapkan manusia tidak berbuat yang tidak alami atau yang tidak serta merta. Yang pokok adalah tidak memaksakan diri melakukan apapun yang diluar kemampuan. Contoh:
Pemanah. Jika kita melakukan lomba memanah dengan memaksakan diri untuk mendapatkan hadiah sekeping emas dan tidak menghasilkan apa-apa. Namun lebih baik bersikap santai dan mahir jika ketepatan tembaknya tidak menghasilkan apapun.[20]
Taoisme menggarisbawahi unsur yang bersifat tidak sadar, intuituf, serta merta.[21] Taoisme mengajarkan bahwa hidup ini sudah diatur dan tidak perlu mengkhawatirkan apa yang harus kita kerjakan. Prinsip Wu Wei dilambangkan dengan Yin Yang. Yin Yang adalah simbol bagi penganut ajaran Tao.
c. Agama KongHuCu dan Ajarannya.
Agama KongHucu memiliki istilah asli yaitu Ru Jiao yang berarti agama daripada kaum yang taat, yang lembut hati, yang beroleh bimbingan atau terpelajar.[22] Istilah KongHuCu dalam bahasa Indonesia diserap dari bahasa Inggris Confucianism, alasan sarjana Barat tidak menggunakan istilah Ru Jiao adalah karena peran Nabi Kongzi di dalam kitab Ru Jiao. Hal ini mungkin terasa janggal karena lewat sejarah diketahui bahwa kitab Ru Jiao sudah ada jauh sebelum Kongzi (Konfusius) lahir.[23]
Kitab suci agama KongHuCu merupakan kanonisasi dari kitab-kitab dan dokumen-dokumen sejarah yang ada sebelumnya. Yang paling tua ditulis oleh Raja Tang Yao (2357-2255 S.M.), Yu Shun (2255-2205 S.M.), Mengzi/Mencius (371-289 S.M.).[24] Maka Kongzi pernah mengatakan:
Aku hanya meneruskan, tidak menciptakan. Aku sangat menaruh percaya dan suka kepada ajaran dan kitab-kitab kuno itu. Di dalam diam melakukan renungan, belajar tidak merasa jenuh, dan mengajar orang lain tidak merasa capai.[25]
Ru Jiao disempurnakan dan digenapkan oleh Tian, Agama yang dibawakan oleh nabi Kongzi yang telah diutus dan dipilihnya, sebagai Mu Duo atau genta rohaninya mengembalikan dunia kepada jalan suci/ sabda suci dan ditutup oleh ajaran Mengzi yang mengerakkan dan meluruskan jalan penafsiran dan pelaksanaan ajaran KongHuCu. Menurut Tjhie Tjay Ing, proses ajaran Mu Duo, sebagai berikut:[26]
Jalan Suci (Dao) yang dibawakan Ru Jiao atau agama Khonghucu yang tertulis di ayat terakhir kitab suci Si Shu atau Mengzi VII B: 38 “dari yao dan shun sampai cheng tang Sing Thong yang kurang lebih selisih waktunya 500 tahun; orang-orang seperti Yu dan GaoYao/Koo Yao masih dapat langsung dapat mengenalnya (dari sumbernya langsung), tetapi Cheng Tang mengenalnya hanya karena mendengar lisan. Dari Cheng Tang sampai raja Wen/Bun lebih kurang 500 tahun jarak waktunya; orang-orang seperti Yi Yin/I Ien dan Laizhu/Laycu masih dapat mengenalnya tetapi raja suci Wen hanya bisa mendengarnya, dari raja wen sampai nabi Kongzi juga selisih jaraknya 500 tahun; orang-orang seperti Taigong Wang/Thaikong dan Sanyisheng/ San Gi Shing masih dapat langsung mengenalnya, tetapi nabi Kongzhi mengenal hanya dengan mendengar. Dari saat nabi Kongzhi hidup, walaupun baru 100 tahun tidak ada yang meneruskannya (Ajaran Jalan Suci). Tetapi Han Yu/Han Ji pada 768-824 masehi meneruskannya dan ia dijuluki bapak kebangkitan Neo-Konfucianisme yang hidup pada jaman dinasti Tang/Tong (618-905 masehi), dalam salah satu karya tulisnya menegaskan: “Adapun jalan suci itu ialah yang diteruskan Yao kepada Shun; Shun pada Yu; Yu kepada Cheng Tang; Cheng Tang kepada raja suci Wen, raja Wu dan nabi Zhougong dan Ciukong Tan; raja Wen, raja wu, dan nabi Zhougong dan kepada Nabi Kongzi dan nabi Kongzi kepada Mengzi.
Konfusius memiliki golden rule, dalam mendefiniskan keadaan timbal balik: “Tidak mengerjakan hal-hal kepada orang lain, yang kita sendiri tidak menginginkan mereka mengerjakan hal-hal tersebut kepada kita.[27] Konfusius sangat menekankan pendidikan kepada orang-orang banyak. Selain Chun Tzu (orang baik-baik),[28] masyarakat kelas bawah juga dapat dididik untuk memperoleh pengetahuan. Konfusius berpendapat: “Tidak seorangpun dapat dipandang sebagai seorang Chun Tzu atas dasar keturunan; ini semata-mata merupakan masalah prilaku dan watak.”[29] Inilah yang menjadi landasan bahwa Konfusius sangat menekankan pendidikan dengan dasar Li atau kepantasan-kepantasan dalam bersikap dan bertindak
II. Hadirnya Agama Tridharma di Yogyakarta
Tridharma adalah tempat ibadah dari 3 agama yang menjadi satu, sedangkan agamanya sebenarnya tidak bergabung.[30] Sebenarnya awalnya ada dua tempat ibadah agama Tridharma, yaitu Klenteng “Kwan Tee Kiong” di jalan Poncowinatan dan Klenteng “Hok Ling Bo” di jalan Gondomanan. Namun yang tetap mempertahankan status ke-”Tridharmaannya” adalah klenteng Kwan Tee Kiong. Sejarahnya adalah sebagai berikut:[31]
Klenteng Kwan Tee Kiong atau Cing Ling Kiong yang terletak di Jl Poncowinatan 16, kota Jogja didirikan pada tanggal 1 Desember 1906. Pendiri dari Klenteng ini ialah : NV. Kian Gwan Tjan, NV. Kiem Bo Tjan, Hiap Soen Tjan dan Kong Seng Tjan. Kini pengurus Klentheng dilakukan oleh yayasan “Bhakti Loka.” Klenteng ini memiliki luas bangunan 3500m2, dengan ruang utama 1000m2, ruang halaman depan 1000m2, ruang samping 1000m2, ruang belakang 500m2. Kedudukan altar meja sembahyang dengan masing-masing patung pujaan adalah: ruang tengah - Kwan Tee Kong (tengah), Tay Pek Kong (kanan), Thian Siang Sing Bo (kiri). Di ruang lain: Kwan Ing Tay Soe (tengah), Giok Hong Tay Tie (ruang atas), dan Kong Hu Tju (kanan). Diberanda paling depan seperti lazimnya adalah tempat untuk sembahyang kepada Thian. Klenteng Kwan Tee Kiong ini pujaan utamanya (tuan rumah) adalah Guan Yu (tanggal 24 bulan 6 Imlek).[32]
III. Purna-penelitian Agama Tri-Dharma
Berdasarkan hasil wawancara, agama Tridharma konteks klenteng “Kwan Tee Kiong” dan tempat ibadahnya bukanlah merupakan bentuk sinkritisme. Tetapi lebih kepada penyatuan kultur hanya orang-orang Tionghoa. Supaya mengingat tradisi dan leluhur. Di tempat ibadah agama Tridharma, mereka tetap memelihara tiga altar yang berbeda. Hal ini tidak sama dengan menyatukan ajaran, namun hanya menyatukan tempat peribadatan. Penekanan tempat ibadat bersama menjadi ciri agama Tri-Dharma merupakan salah satu unsur yang tetap berusaha dipertahankan di tengah-tengah jaman. Hal tersebut memberikan pemahaman bahwa orang-orang Tionghoa mengusahakan toleransi umat beragama dengan cara mereka yang khusus.

[1] Ibid. Morthiko. Riwayat Klentheng, Vihara, Lithang Tempat Ibadat Tridharma. (Surabaya : Percetakan Sidoyoso, 1980), 46.
[2] Ibid.
[3] Buddha bermakna : Yang Dicerahkan.
[4] Morthiko. Riwayat Klentheng, Vihara, Lithang Tempat Ibadat Tridharma. (Surabaya : Percetakan Sidoyoso, 1980), 48-49.
[5] Ibid., 51.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid., 52.
[9] Ibid.
[10] Menurut tradisi kerajaan Tjou berdiri pada abad ke-12 atau e-11 sebelum Masehi, dan berlangsung hingga 256 sebelum Masehi. Morthiko. Riwayat Klentheng, Vihara, Lithang Tempat Ibadat Tridharma. (Surabaya : Percetakan Sidoyoso, 1980), 58.
[11] H.G. Creel. Alam Pikiran Cina: Sejak Konfusius sampai Mao Ze Dong, (Yogyakarta:Tiara Wacana Jogja, 1990), 107. Diterjemahkan oleh Drs. Soejono Soemargono. Chinesse thought from Confusius to Mao Tse Tung (USA: The University of Chicago Press, 1953).
[12] Ibid.
[13] Ibid., 108.
[14] Ibid., 109.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid., 104.
[19] Ibid., 111-112. Dikutip dari Legge, The Writing of Kwang Tze, II. No 60-61.
[20] H.G. Creel. Alam Pikiran Cina: Sejak Konfusius sampai Mao Ze Dong, (Yogyakarta:Tiara Wacana Jogja, 1990), 112. Diterjemahkan oleh Drs. Soejono Soemargono. Chinesse thought from Confusius to Mao Tse Tung (USA: The University of Chicago Press, 1953).
[21] Ibid., 113.
[22] XS. Tjhie Tjay Ing. Panduan Pengajaran Dasar Agama KONGHUCU. (Solo; Matakin, 2006), 9.
[23] Ibid. Keterangan: Kongzi adalah nama panggilan Konfusius oleh penganut agama KongHuCu.
[24] Ibid.
[25] Ibid. Dikutip dari sabda suci VII: 1.2.
[26] Ibid., 10.
[27] H.G. Creel. Alam Pikiran Cina: Sejak Konfusius sampai Mao Ze Dong, (Yogyakarta:Tiara Wacana Jogja, 1990), 41. Diterjemahkan oleh Drs. Soejono Soemargono. Chinesse thought from Confusius to Mao Tse Tung (USA: The University of Chicago Press, 1953). Dikutip dari Mencius 2(1)6.
[28] Istilah Chun Tsu pada masa lalu untuk menunjukkan garis keturunan dimana klas bangsawan, raja, pejabat, memperoleh status ‘orang baik-baik’ oleh karena darah mereka.Lihat Alam Pikiran Cina: Sejak Konfusius sampai Mao Ze Dong, 29.
[29] Ibid., 29.
[30] Hasil Wawancara kelompok di klenteng “Kwan Tee Kiong.” Tanggal 15/10/2010.
[31] Hasil Wawancara dan studi pustaka dari buku: Morthiko. Riwayat Klentheng, Vihara, Lithang Tempat Ibadat Tridharma. (Surabaya : Percetakan Sidoyoso, 1980),234- 236.
[32] Guan Yu adalah salah satu tokoh yang hidup pada jaman kerajaan Shu. Pengabdian, Kesetian, Keberanian dan Persaudaraannya menjadi panutan bagi para pemujanya.